KONSEP KEPEMIMPINAN “HASTHABRATA” SEBAGAI PEMBANGUN
JATI DIRI BANGSA
A.
Latar Belakang Masalah
Ibu pertiwi berduka, negara Indonesia sedang ditimpa
musibah yang seperti tidak ada habis-habisnya. Salah satunya adalah krisis
kepemimpinan bangsa yang kian hari kian memprihatinkan. Rakyat Indonesia kini
luntur kepercayaannya kepada para pemimpin bangsa dikarenakan pemimpin saat ini
cenderung sudah tidak lagi mementingkan kepentingan rakyat. Kini mereka bukan
lagi berkuasa sebagai wakil rakyat, namun sudah menjadi wakil partai, wakil
individu, maupun wakil kepentingan. Dimana-mana terdengar kabar pejabat negara
melakukan korupsi, DPR yang seharusnya mewakili pendapat rakyat justru tidur di
tengah rapat, Menteri-menteri minta kunjungan ke luar negeri dengan alasan study banding dengan membawa sanak
familinya.
Kemana hilangnya jiwa kepemimpinan yang dulu
diagung-agungkan pada saat Ratu Shima, sang ratu yang adil memimpin kerajaan Kalingga, Saat Brawijaya memimpin
kerajaan Sriwijaya, Saat Raja Hayam Wuruk bersama patih Gajahmadanya memimpin
kerajaan Majapatih yang konon sampai ke Madagaskar wilayahnya.
Bukankah sebuah bangsa yang besar tentunya pasti memiliki
pemimpin yang hebat?. Hal ini telah dibuktikan sendiri oleh nenek moyang bangsa
Indonesia. Mereka telah bisa menjadikan wilayah nusantara menjadi makmur dan
sejahtera bahkan sangat luas wilayahnya. Mereka telah membuktikan bahwa bangsa
Indonesia tidak kalah dengan bangsa-bangsa beradab lainnya. Untuk menjadikan Indonesia
menjadi negara yang maju pun harus memiliki para pemimpin yang tangguh. Lalu,
seperti apa konsep kepemimpinan yang seharusnya dilaksanakan dan sesuai dengan
kondisi di Indonesia?.
Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan konsep-konsep
kepemimpinannya agar dijadikan pedoman dalam kepemimpinan bangsa. Salah satunya
dalam bentuk karya sastra. Namun tampaknya nasehat ini masih kurang diindahkan oleh
para pemimpin bangsa sehingga krisis kepemimpinan pun tidak dapat terelakkan.
Generasi penerus bangsa pun bahkan tidak lagi memperhatikan budaya seperti
karya sastra yang didalamnya terdapat ajaran nilai-nilai luhur bangsa. Salah
satunya adalah konsep kepemimpinan “Hasthabrata”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas,
maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah :
1. Apa
isi konsep kepemimpinan “Hasthabrata”?
2. Bagaimana
konsep kepemimpinan “Hasthabrata” dapat membangun jati diri bangsa?
C.
Tujuan Penulisan
Bertolak
apa yang dikemukakan pada rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui
isi konsep kepemimpinan “Hasthabrata”.
2.
Untuk mengetahui
peran konsep kepemimpinan “Hasthabrata” dalam membangun jati diri bangsa.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini ada 2, yakni :
1.
Manfaat teoritis
Secara teoritis, manfaat yang dapat diharapkan dari
penulisan makalah ini adalah untuk penambahan pengetahuan mengenai konsep
kepemimpinan “Hasthabrata” dan kaitannya dengan jati diri bangsa.
2.
Manfaat praktis
Secara praktis, manfaat yang diharapkan dari
penulisan makalah ini adalah dapat mendorong terciptanya kesadaran untuk
menerapkan ajaran luhur konsep kepemimpinan “Hasthabrata” untuk membangun jati
diri bangsa.
E.
Pembahasan
E.1 Konsep
Kepemimpinan “Hasthabrata”
Soerjono Soekanto dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar menuliskan, Kepemimpinan merupakan hasil organisasi
sosial yang telah terbentuk atau sebagai hasil dinamika interaksi sosial. Ia
pun menjelaskan, sifat-sifat yang disyaratkan bagi seorang pimpinan, tidak sama
pada setiap masyarakat. Walaupun kadang memang terdapat kesamaan disana-sini.
Konsep Kepemimpinan “hasthabrata” adalah konsep
kepemimpinan dalam budaya Jawa yang dimuat dalam buku Kakawin Ramayana, Serat Rama Jarwa (Yasadipura), Serat Ajipamasa (Ranggawarsita), dan cerita
wayang “Wahyu Makutharama”. Ajaran
ini diberikan oleh Prabu Rama yang kepada Barata (adik) dan Gunawan Wibisana;
dberikan Prabu Ajipamasa (Kusumawicitra) kepada Gandakusuma dan Jayasusena;
serta diberikan Prabu kresna kepada Arjuna.
Dalam buku Sosiologi
Suatu Pengantar diceritakan bahwa ajaran “hasthabrata” bercerita mengenai
kerajaan Ayodhya yang diperintah oleh raja Dacaratha yang mempunyai putra yaitu
Sri Rama, Laksamana, dan Bharata. Yang terakhir adalah putra seorang selir
bernama dewi Kekayi. Yang berhak menjadi pengganti raja Dacaratha sebetulnya
adalah Sri Rama, akan tetapi waktu sang raja akan mengawini dewi Kekayi, beliau
pernah berjanji bahwa putranya kelak akan dijadikan raja. Dewi Kekayi yang
tidak pernah lupa akan janji tersebut menuntut agar anaknya Bharata dinobatkan
menjadi raja, sedangkan Sri Rama dibuang ke hutan. Sri Rama yang mengetahui
betapa putus asa ayahnya dalam menghadapi keadaan itu, dengan sukarela
memutuskan menyerahkan mahkota kerajaan kepada adiknya Bharata. Dia sendiri
bersama Shinta dan adiknya Laksamana masuk hutan. Bharata yang sangat menghormati
kakaknya, tidak mau menjadi raja, dan kemudian menyusul kakaknya. Akan tetapi,
Sri Rama tetap pada pendiriannya dan memberikan nasihat-nasihat kepada adiknya
Bharata tentang bagaimana dia harus berlaku sebagai pemimpin yang baik. Nasihat
itulah yang dinamakan “hasthabrata”.
Ajaran “hasthabrata” berasal dari kata “hastha” yang artinya delapan, dan “brata”, yang artinya sikap atau
perbuatan. Jadi, “hasthabrata” berarti 8 sikap yang menjadi pedoman dan pegangan,
serta kewajiban seorang pemimpin dalam memimpin rakyatnya.
Di dalam budaya Jawa, terdapat 3 tingkatan pemimpin
berdasarkan wataknya, yaitu pemimpin
nistha (jelek atau jahat), madya (sedang),
dan utama (baik atau mulia). Hal ini
ditulis oleh pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Yasadipura
dalam Serat Rama Jarwa, dan Raden
Ngabehi Ranggawarsita dalam buku Ajipamasa.
Pemimpin yang utama adalah pemimpin yang memahami masalah negara dengan konsep “hasthabrata”.
Konsep “hasthabrata” yang ditulis oleh Yasadipura
dan Ranggawarsita mempunyai beberapa perbedaan. Penulisan oleh Yasadipura
dilakukan saat agama Hindu dan paham dewa masih kuat. Sehingga konsep “hasthabrata”
digambarkan sebagai 8 dewa. Sedangkan Ranggawarsita menulis saat ajaran Islam
sudah mulai masuk, sehingga ajaran “hasthabrata” digambarkan dalam anasir bumi
atau kosmos alam semesta.
a.
“Hasthabrata” Versi
Serat Rama Jarwa
Kedelapan ajaran “hasthabrata” menurut versi Serat Rama Jarwa dipaparkan dalam Pupuh Pangkur bait 16-35 sebagai berikut
:
16. //........../
lawan sarira elinga bathara wolu/ poma iku munggeng sira/ lire kang
sawiji-wiji//
17. Wewolu
sariranira/ yekti nora kena sira ngoncati/ salah siji saking wolu/ cacad
karatonira/ yen tinggala salah siji saking wolu/ kang dhihin Bhatara Endra/ Bathara
Surya ping kalih//
18. Bayu
ingkang kaping tiga/ Kuwera kang sekawanipun nenggih/ Baruna kalimanipun/ Yama
Candra lan Brama/ jangkep wolu lan pasthi mangka ing prabu/ anggenira ngasta
brata/ sayekti ing narapati//
19. Lampahe
Bathara Endra/ ngudanaken wewangi ing sabumi/ dana sumebar sumaur/ maratani
sajagad/ kawaratan gung alit sadayanipun/ pan ora amilih janma/ lakuning Endra
sayekti//
20. Iku yayi
lakonana/ sawadyane kabeh kamot ing bumi/ dene Yama lampahipun/ milara krama
ala/ wong durjana ing praja kabeh ginempur/ nora ngetung kadang warga/ yen
durjana denpateni//
21. Barang
kang laku dursila/ ingupaya kabeh denosak-asik/ sanggone ingisi tinut/
kacandhak pinatenan/ reregeding praja pinrih biratipun/ mangkono Bathara Yama/
gone rumeseng prajadi//
22. Maling
memalaning praja/ pinrih ilang dursila ngreregedi/ angundhangi tinundhung/ kang
ala wis pinatenan/ sajinise tumpes tapis//
23. Kang jinis
panggawe ala/ lah anggonen Bathara Yama’ yekti/ Surya kaping tiganipun/ lakune
palamarta/ ngudanaken sabarang reh arum-arum/ amajingaken rerasan/ asrep
ingkang dentetepi//
24. Tan galak
mutut sakarsa/ tan karasa wadya pinrih ing becik/ tan ana rerengunipun/ sumurup
amrih kena/ ingkang pinrih rinasan rerasan alus/ pangisepe reresepan/ kasesep
ken ing pinrih//
25. Tan age
saliring karsa/ nadyan mungsuh tyase kena pinilih/ an katengen pan rinasuk/
pangisepe sarasa/ kang kaping pat Bathara Candra ing laku/ apura sarananira/
amenuhi sabumi//
26. Mrih eca
isining praja/ ing pangrehe wewangi lan memanis/ sawuwus amanis arum/ saulat
parikrama/ guyu-guyu eseme winor ing tanduk/ satindak-tindak tan rekasa/ mung
marentahaken memanis//
27. Ambeg
santa sabuwana/ trusing manah marta-marta memanis/ sawuwus amanis arum/ asih
sagung pandhita/ kaping lima lampahe Bathara Bayu/ anginte pakaryaning rat/
budining rat den kawruhana//
28. Tanpa
wangen tanpa tengran/ gening amrih met budining dumadi/ kena kabudayanipun/ ing
reh datan kawruhan/ sasolahe wadya keksi//
29. Sinambi
angupa boga/ myang busana agung mangun kamuktin/ yan ana antaranipun/ mrih
kasukaning bala/ amemaes sapara yogyaning wadu/ sartanggung tyase sinuksma/
gunaning yuwana pinrih//
30. Ing tyas
datan kena molah/ sapolahe kabeh wus denkawruhi/ dibyandana-dana tinut/ lampah
susila arja/ wus kakenan jagad kautamanipun/mangkana Bayu lampahnya/iya engeten
sayekti//
31. Kaping nem
Sang Hyang Kuwera/ anggung mukti boga sarya ngenaki/ tan anggepok raganipun/
namakaken sarana/ kang wis kunon amusthi pathining laku/ amung percaya kewala/
denira tan amrih silib//
32. Gunging
praja pinarcaya/ dananya sru kayekten danugemi/ nora ngalem nora nutuh/ samoha
sinasama/ rehning sukprah kabeh kawiryan wus sinung/ tan wruh ing upaya sira/
tuhuning pribadi pinirih//
33.
Kasaptanira Baruna/ anggung ngagem sanjata lampahneki/ bisa basukining laku/
amusthi ing wardaya/ guna-guna kagunan kabeh ginelung/ angapus saisining rat/
putus wiweka kaeksi//
34. Angapus
sagung durjana/ sedhih kingkin dursila-sila juti/ saisining rat kawengku/
kesthi kang ala arja/ tempuh ing sarana datan kegah-keguh/ kukuh kautamanira/
tuladen Baruna yekti//
35. Bratane
Bathara Brama/ ngupa boga sawadyane gung alit/ kabeh galak masing mungsuh/ bisa
basaning wadya/ sirna parangmuka kaparag kapusus/ tirunen Bathara Brama/ lakine
Ni Larasati.
Dalam versi Serat Rama Jarwa disebutkan bahwa dalam
mengatur bangsa dan negara harus berpegang pada watak dewa yang berjumlah
delapan, yaitu Dewa Indra, Surya, Bayu, Kuwera, Baruna, Yama, Candra, dan
Brama.
(1)
Dewa Indra : seorang
pemimpin harus memberi sesuatu yang menyenangkan kepada rakyat dan memberi
bantuan tanpa pandang bulu, serta selalu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
(2)
Dewa Surya : menjadi pemimpin harus selalu memotivasi
dan kasih sayang kepada rakyat, tidak galak tidak kejam dan membawa rakyat ke
arah kebaikan.
(3)
Dewa Bayu : seorang
pemimpin selalu dekat dengan rakyat, mengamati dan mengetahui kesungguhan
rakyat dalam menjalankan pekerjaan atau kewajibannya dengan sembunyi-sembunyi,
sehingga rakyat tidak akan mencari muka.
(4)
Dewa Kuwera : pemimpin harus selalu menolong dan
memberi kebutuhan rakyat, memberi sedekah, meningkatkan rejeki atau taraf hidup
rakyat, dan percaya kepada para prajurit dan segenap pembantunya.
(5)
Dewa Baruna : pemimpin harus tegas, adil, digambarkan
selalu membawa senjata demi kebaikan rakyat, dan selalu memikirkan serta
melakukan langkah konkrit agar semua rakyat patuh terhadap hukum serta berbuat
baik.
(6)
Dewa Yama : pemimpin dalam menegakkan hukum dan keadilan harus
adil, semua pejabat yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara harus diadili dan
dihancurkan tanpa pilih kasih.
(7)
Dewa Candra : seorang pemimpin harus pemaaf, selalu
menyenangkan, sopan, rendah hati, kasih sayang, dan menghormati brahmana serta
melaksanakan agama dengan tekun.
(8)
Dewa Brahma : seorang pemimpin harus melindungi semua
rakyat dari berbagai ancaman dan marabahaya, sehingga semua musuh harus
dihancurkan. Setelah itu pemimpin harus selalu mengupayakan nafkah rakyat dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, bangsa, serta negara.
b.
“Hasthabrata”
Versi Serat Ajipamasa
Dalam Serat
Ajipamasa, konsep kepemimpinan “hasthabrata”
digambarkan dengan 8 anasir bumi, yaitu berwatak tanah, api, angin, matahari,
bulan, bintang, dan mendhung (awan).
Hal ini termuat dalam tembang Girisa,
bait 2-14; sebagai berikut.
(1)
......./ ing mengko kawikanan/ ana maneh ingkang
dadya/ darsana kotameng nata//
(2)
sayekti kudu nganggoa/ ambeg kang wolu prakara/
sawijiambeg pratala/
iku tansah
adedana/ karem bebungah ing janma/ wahanane dananira/ kang tumuwuh ing
angganya/ suka lila denambila//
(3)
Aywa kang cukularina/ lamun ora denlilakna/ nadyan
badane priyangga//
Umpama
dinudhukana/ kapaculan lega lila/ tan sakserik ing tyasira/ Malah yen
kabeneran/ pangulahe mangsa kala//
(4)
ngaturaken saniskara/ pependheman rajabrana/
sayektine dadi suka/ kang andhudhuk antuk begja/ kapindo ambeging tirta/
angglaraken sadina-dina/ pangapura paramarta/ angayemi maring janma//
(5)
bisa angenaki janma/ pranata rengatan netya/
cinibukan angganira/ pulih datana labetnya/ katri ambeging dahana/ amisesa
ingkang ala/ angruk regeding bawana/ sirna sagung duratmaka//
(6)
Kang arugkut kababadan/ kang apeteng pinadhangan/
umpama yen kalonglongan/ tan dadyardaning kasudan/ bisa sareh ing pangarah/
bisa sereng ing pangulah/ braantyanira kagila/ lakune tan kawistara//
(7)
Kupat ambeging maruta/ tan pegat niti pariksa
anggung ngenginte anuksma/ ing solah bawaning janma/ bisa moring pasamaran/
agal alit kalimputan/ lakune tanpa wangenan/ pamrih tanpa tengeran//
(8)
Amiguna ing aguna/ tan kewran reh sasmita/ tan esak
yen katulaka/ tan serik yen katampika/ kalima ambeging surya/ asareh ing
sabarang karsa/ rereh ririh ing pangarah/ tandaya-daya antuka//
(9)
Umpama singa pineya/ kataman panasing surya/ tanage
de-garingena/ saking pangati-atinya/ ngarah-ngarah lakunira/ ngirih-irih
pratapira/ pamrihe aywa rekasa/ denira ngreh amisesa//
(10) Kaping nenem
ambeging candra/ bisa nuragamet prana/ asareh sumeh ing netya/ alus ing budi
jatmika/ praha ngasrepi bawana/ kawaratan paramarta/ nawurken raras rum sunar/
sumarambah ing dumadya//
(11) Kasamtambeging
sudama/ lan susila santosa/ jangkuh tan keguhan driya/ nora leres ing ubaya/
datan lemeran ing karsa/ pitayan tan samudana/ setya tuhu ing wacana/ asring
umangsang wasita//
(12) Kasamtambeging
mendhung tan lyan/ antrapken dana siasat/ angempakken pangadilan/ tan anganggo
pepilihan/ danane yen kabeneran/ sayekti asung ganjaran/ sarana nurunken udan/
anyiram kang tetuwuhan//
(13) Wesi asate yen
ana/ kang kaluputan sakala/ ahirandha lan pinidhana/ ing guntur datanpa sesa/
adile anggung mariksa/ ala becike manungsa/ gebyare caleret ika/ kang mangka titi
pariksa//
(14) ......../
mangkana kang hasthabrata/ anggonen
den kasarira/....//
Delapan watak yang harus dimiliki pemimpin menurut
konsep kepemimpinan “hasthabrata” versi Serat
Ajipamasa adalah.
(1)
Pratala ‘Tanah’
Maksudnya seorang pemimpin hendaknya selalu menolong,
membantu, bersedekah atau memberi, selalu membuat senang orang lain dan ikhlas
dalam segala perbuatan, serta tidak pendendam.
(2)
Pratala ‘Air’
Seorang pemimpin hendaknya selalu bersifat pemaaf
terhadap siapa saja, dan selalu membuat ketentraman, kesejukan, serta kedamaian
terhadap semua manusia atau rakyatnya.
(3)
Dahana ‘Api’
Maksudnya seorang pemimpin hendaknya selalu menjaga
kewibawaan dan aib negara, menghilangkan kotoran bumi hingga lenyap seluruh
kejahatan. Adil dalam memberantas kejahatan dan musuh negara. Selalu membuat
terang dan tidak merugikan orang lain, sabar dalam meraih cita-cita, tidak
tamak, dan penuh semangat.
(4)
Maruta ‘Angin’
Seorang pemimpin hendaknya selalu waspada, selalu
mengamati kepribadian dan perbuatan orang lain (merakyat), dapat berbaur dengan
siapa saja dan dimana saja. Besar kecil tercakup, segala perbuatannya selalu
bermanfaat terhadap orang lain, jauh dari berbagai kepentingan dan maksud
pribadi, bermanfaat bagi siapa saja, tidak sakit bila dikritik orang lain.
(5)
Surya ‘Matahari’
Maksudnya seorang pemimpin harus sabar dalam
menjalankan tugas dan kewajiban, serba hati-hati, selalu memberikan pencerahan,
motivasi atau semangat rakyat, serta tidak mudah putus asa.
(6)
Candra ‘Bulan’
Seorang pemimpin hendaknya dapat menjadi penyejuk,
membuat kedamaian, ketentraman, dan kesenangan hati rakyat, sabar, tidak kejam,
berperilaku halus, serta sangat berbelas kasih kepada sesama.
(7)
Sudama ‘Bintang’
Maksudnya seorang pemimpin bersifat sopan santun,
teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh, dan terkena godaan, berkemauan
mantap, penuh kepercayaan, tidak munafik, dan gemar memberi petuah kepada
segenap anak buah dan rakyat, serta dapat menjadi panutan atau keteladanan.
(8)
Mendhung ‘Awan’
Pemimpin dapat mengendalikan keadaan serta
kewibawaan bangsa dan negara, harus adil dalam menegakkan kebenaran, dan senang
menolong serta membantu kebutuhan rakyat.
c.
Konsep “hasthabrata” versi Pedhalangan atau Pertunjukan Wayang
Dalam pertunjukan wayang purwa cerita Wahyu Makutharama, konsep kepemimpinan “hasthabrata” diajarkan oleh Begawan
Kesawasidi (jelmaan Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna di Gunung Kutarungu. Makutharama berasal dari kata makutha ‘mahkota’ dan rama ‘Prabu Ramawijaya’ Raja Pancawati
titisan Dewa Wisnu yang mengajarkan ajaran “hasthabrata” kepada Gunawan
Wibisana saat memerintah Negara Singgela, adik Rahwana Raja Alengka. Setelah
Prabu Rama mati, menitis pada Prabu Kresna Raja Dwarawati, dan Prabu Kresna
menyamar menjadi Begawan Kesawasidi tersebut mengajarkan konsep “hasthabrata”
kepada Arjuna.
Ajaran itu berisi bahwa seorang raja atau pemimpin
harus berwatak matahari, bulan, bintang, awan, angin, api, laut, dan tanah.
(1)
“... kapisan bembege surya, tegese sareh in karsa,
derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh
uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang surya nora daya-daya
garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-ngirih, pamrihe lamun sarwa sareh
nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung
dumadi.
(2)
Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese
tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hanengsemake, lakune bisa amet
prana sumehing netya alusing budi anuwuraken raras rum sumarambah marang
saisinging bawana.
(3)
Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya
pepesrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa
kala, patrape santosa pengkah nora kangguhan puguh ing kersa pitaya tanpa
samudana, wekasan dadya pandam keblating sagung dumadi.
(4)
Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana
wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh.
Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah
sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk
nugraha.
(5)
Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah
nyrambahi sagung gumelar; laune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi
sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.
(6)
Kaping nem hambeging dahana, lire pakertine bisa
ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane
muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
(7)
Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang
kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora-nora kang anabet.
Senisene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.
(8)
Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa
ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar yang kawula
kang labuh myag hanggulawenthah
(Purwadi, 1994:139).
Maksud dari ajaran ini, pemimpin harus berwatak kosmosentris,
yaitu memiliki watak
(1)
Matahari (Surya)
Matahari mempunyai sifat panas, penuh energi, serta
memberi bara hidup. Maksudnya setiap pemimpin agar dapat memberi , motivasi,
semangat, spirit dan memberi kehidupan kepada anak buah serta rakyatnya.
(2)
Bulan (Candra)
Bulan mempunyai wujud indah dan menerangi dalam
kegelapan. Maksudnya setiap pemimpin dapat menyenangkan dan memberi penerang
(kesenangan, solusi), pencerahan dalam kegelapan bagi anak buah serta
rakyatnya.
(3)
Bintang (Kartika)
Bintang mempunyai bentuk yang indah dan menjadi
hiasan pada waktu malam dan menjadi pedoman bagi yang kehilangan arah.
Maksudnya seorang pemimpin dapat menjadi pedoman (teladan) bagi rakyatnya.
(4)
Mendhung (Awan, Hima)
Mendung mempunyai sifat menakutkan, namun setelah
menjadi hujan dapat menghidupkan segala yang tumbuh. Maksudnya setiap pemimpin
harus berwibawa, tapi tindakannya juga harus bermanfaat dan melindungi rakyat.
(5)
Angin (Maruta)
Angin mempunyai sifat mengisi setiap ruangan yang kosong,
walaupun tempatnya amat rumit. Maksudnya, setiap pemimpin dapat melakukan
tindakan yang teliti, cermat, mau turun ke lapangan untuk menyelami keadaan
kehidupan rakyat yang sebenarnya.
(6)
Api (Dahana)
Api mempunyai sifat tegak dan membakar apa saja yang
bersentuhan dengannya. Maksudnya, seorang pemimpin harus bertindak adil, tetap
tegas dan tidak pandang bulu; atau seorang pemimpin harus teges, tegas, tega,
tegel, dan teteg dalam menegakkan serta membasmi kejahatan.
(7)
Laut (Samodra)
Laut bersifat luas dan rata. Maksudnya, seorang
pemimpin harus memiliki pandangan atau wawasan yang luas dan berkeadilan,
sanggup menerima berbagai persoalan, sabar serta tidak membenci terhadap orang
lain.
(8)
Bumi (Tanah, Pratala)
Bumi mempunyai sifat sentosa dan suci. Maksudnya seorang
pemimpin harus berbudi sentosa, jujur, serta mau memberi anugerah (hadiah)
kepada siapa saja yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.
E.2 Peran
Konsep Kepemimpinan “Hasthabrata” dalam Membangun Jati Diri Bangsa
Konsep kepemimpinan “hasthabrata” merupakan warisan
nasehat dari nenek moyang bangsa Indonesia mengenai bagaimana menjadi pemimpin
yang baik. Seharusnya generasi penerus bangsa tidak melupakan hal ini begitu
saja dan tidak lebih mengagung-agungkan konsep kepemimpinan Barat. Karena
seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa konsep kepemimpinan dalam suatu
masyarakat kadang berbeda-beda tergantung budayanya. Selain itu, dengan terlalu
memuja ajaran dari Barat dan melupakan ajaran-ajaran nenek moyang, akan membuat
bangsa Indonesia menjadi merasa tidak mempunyai sumbangan apa-apa dalam ilmu
pengetahuan. Merendahkan rasa kebanggaan bangsa Indonesia akan negerinya.
Menjadikan bangsa Indonesia kehilangan jati diri aslinya. Padahal betapa banyak
peninggalan-peninggalan bangsa Indonesia yang hebat, Candi Borobudur misalnya. Untuk membentuk suatu peradaban baru yang
lebih maju, kita membutuhkan pemimpin yang hebat. Tanpa menghapus semua
pengetahuan masa lalu dan merubah semua dengan konsep yang baru. Kita dapat
mengambil hal-hal positif yang telah diwariskan oleh nenek moyang bangsa dan
mengembangkannya dengan keadaan saat ini. Salah satunya adalah dengan
mengangkat kembali konsep kepemimpinan “hasthabrata.
Dalam kakawin Ramayana, terdapat dua seloka yang
berisi sebagai berikut :
a.
bahwa
“hastabrata” merupakan suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
b.
“hasthabrata”
memberikan kepastian bahwa seorang pemimpin yang menjalankannya akan mempunyai
kekuasaan dan kewibawaan sehingga dapat menggerakkan bawahannya. Keadaan
demikian dapat menghindari terjadinya krisis kepemimpinan. Krisis kepemimpinan
akan terjadi oleh karena pemimpin tidak berani mengambil keputusan, bertindak,
dan tidak jujur.[1]
Pada dasarnya, setiap manusia adalah pemimpin,
minimal sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, konsep
kepemimpinan tidak hanya dibutuhkan oleh para pemimpin bangsa, namun juga bagi
seluruh manusia Indonesia. Jika seluruh masyarakat Indonesia mempunyai pedoman
mengenai bagaimana cara memimpin yang baik, maka akan membentuk suatu jati diri
bangsa yang suka menolong, pemaaf, adil, tegas, memberi semangat, dll seperti
yang terdapat dalam ajaran “hasthabrata”. Kehidupan bangsa yang damai dan
sejahtera pun bukan lagi sebagai utopia belaka. Walaupun memang membutuhkan
kesadaran serius untuk dapat mewujudkan semua ini.
F.
PENUTUP
F.1
Kesimpulan
Konsep kepemimpinan dalam suatu masyarakat
berbeda-beda. Di Indonesia, khususnya di Jawa dikenal konsep kepemiminan
“hasthabrata”. Konsep ini mengajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang baik
menurut budaya Indonesia. Konsep ini dapat membangun jati diri bangsa, karena
setiap manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. Jadi konsep ini dapat
diterapkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya pada pemimpin bangsa.
Selain itu, konsep ini dapat memberikan kebanggaan pada diri manusia Indonesia
karena kita mengetahui bahwa bangsa Indonesia mempunyai sebuah konsep kepemimpinan
yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lainnya. Dengan mengetahui konsep ini dan
setelah bangga mempunyainya, diharapkan bangsa Indonesia kemudian dapat
menerapkannya karena hal ini merupakan jati diri bangsa Indonesia.
F.2 Saran
Dalam mengembangkan konsep kepemimpinan
“hasthabrata” diperlukan peran dari seluruh elemen, baik pemerintah, pendidik, orang
tua/keluarga, maupun masing-masing
individu dan masyarakat.
Pemerintah dapat membuat kebijakan penerapan konsep
kepemimpinan “hasthabrata” di dalam pemerintahan sebagai kode etik pemerintahan.
Pendidik, dalam hal ini guru/dosen yang mengajar
generasi penerus bangsa tidak hanya mengenalkan konsep kepemimpinan barat, tapi
juga mengenalkan konsep kepemimpinan “hasthabrata” sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Orang tua merupakan guru pertama bagi anak-anak
bangsa Indonesia. Orang tua dapat menanamkan konsep kepemimpinan “hasthabrata”
ini dalam kehidupan anak sehari-hari. Bisa juga dengan mendongengkan anak yang
berisi ajaran-ajaran kepemimpinan “hasthabrata”.
Individu dapat mengembangkan konsep kepemimpinan ini
dalam dirinya masing-masing dengan kesadarannya. Konsep hanyalah sebuah konsep
tanpa dijalankan di kehidupan nyata. Konsep ini hanya tetap menjadi cerita
sejarah jika kita tidak menerapkannya di kehidupan sehai-hari.
Masyarakat luas pun dapat mengembangkan konsep
kepemimpinan ini sesuai bidangnya. Misalnya seorang penulis dongeng, dapat
memasukkan konsep-konsep ini dalam ceritanya. Pengarang lagu pun dapat membuat
lagu-lagu berdasarkan konsep ini. Masing-masing individu mempunyai peran
masing-masing dalam masyarakat. Dan ia dapat berkontribusi dalam memajukan
bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Soekanto, Soerjono. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sutardjo, Imam. 2014. “Konsep
Kepemimpinan “Hasthabrata” Dalam Budaya Jawa”. Jumantara. Vol. 5 No. 2.
Komentar
Posting Komentar