Mengungkap
Fenomena Hate Speech di Media Sosial, Mari Berekspresi dan Budayakan Bertanggung
Jawab
Novia Sagita
Dewi
Lintang Ayu
Saputri
Singgih Wahyu
Astuti
Manusia
pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Tidak
ada bantahan apapun mengenai hal tersebut. Namun, sudahkah semua manusia
sebagai makhluk sosial tersebut dapat dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya?
Budaya mempunyai arti penting
karena merupakan identitas suatu bangsa.
Hubungan sosial antar manusia tentu harus berdasarkan pada nilai-nilai budaya.
Apalagi di era globalisasi dan modernisasi seperti saat ini dimana perkembangan
teknologi dan informasi kian melesat dengan cepat.
Melesatnya
penggunaan teknologi menjadikan masyarakat digital semakin mudah dalam
menjalankan aktivitas. Perkembangan teknologi juga berdampak pada penggunaan media
massa terutama media sosial. Media massa memang bagaikan pisau bermata dua. Di
satu sisi memberikan manfaat yang luar biasa terhadap perkembangan informasi
untuk masyarakat. Tetapi di balik itu semua menyimpan beribu rahasia yang tak
kentara.
Semakin mudahnya
orang memberikan informasi di media sosial juga mempunyai dampak negatif, yaitu
semakin mudahnya seseorang memberikan ujaran kebencian (hate speech) di media
sosial. Fenomena mengenai ujaran kebencian sudah banyak terjadi di Indonesia.
Dari data yang didapatkan pada tahun 2013 ke 2014 terjadi kenaikan sekitar 53
persen (41 kasus dari 72 kasus UU ITE) dengan angka rata-rata hingga Oktober
2014 pelaporan sebanyak 4 kasus. Diketahui bahwa terdapat 92% dilaporkan dengan
defamasi (pencemaran nama baik) yang sesuai dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE,
sedangkan sisanya 5 % mengenai pasal penistaan agama dan 1 % mengenai
pengancaman. Kemudian bila menggunakan media sosial, maka Facebook menempati
urutan pertama media yang menyampaikan ujaran kebencian sebanyak 49 %.
Dengan berlandaskan
pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 mengenai kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat, masyarakat Indonesia merasa wajar saja jika menyatakan
pendapatnya di media sosial, termasuk menyebarkan ujaran kebencian. Bahkan di
kalangan Aparat POLRI masih mengganggap Ujar Kebencian (Hate Speech) sebagai
bagian dari Kebebasan Berbicara (Free Speech) yang dijamin oleh konstitusi.
Kebebasan
berpendapat tersebut kadang disalahgunakan dan melampaui batas kewajaran
membuat orang lain merasa tidak nyaman dan menghasut orang lain untuk bertindak
kekerasan. Padahal yang dimaksud kebebasan berpendapat dalam masyarakat
demokratis adalah kebebasan yang bertanggnggungjawab.
Isu tentang hate speech mulai kembali meruak ketika Kapolri
Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015. Surat
Edaran ini menuai pro dan kontra di dalam masyarakat Indonesia. Maka dari itu,
dengan adanya tulisan ini, diharapkan mampu mengurai permasalahan kebijakan
untuk mengurai permasalahan hate speech di Indonesia. Penulis juga ingin
menghubungkan hate speech yang akan dikorelasikan dengan dampak terhadap
masyarakat dalam lingkup sosial budaya, khususnya dalam hal pencerdasan publik.
·
Identifikasi Masalah
Alasan dikeluarkannya
Surat Edaran (SE) No. SE/6/X/2015 mengenai hate
speech adalah karena dewasa ini seiring maraknya sosial media sebagai
dampak dari kecanggihan teknologi, maka peluang untuk menyudutkan pihak lain
sangat terbuka lebar. Misalnya saja kasus yang terjadi pada Florence Sihombing
di tahun 2014 lalu yang menghina Yogyakarta dan Pertamina akibat antrean yang
sangat panjang di SPBU melalui akun Path, tukang
tusuk sate yang memaki-maki Presiden Joko Widodo dan berujung pada permintaan
maaf dari tukang sate tersebut, dan masih banyak kasus yang lainnya yang ada
kaitannya dengan hate speech.
Indonesia memang
mengatur kebebasan berpendapat dalam Pasal 28E Ayat (3) yang menyatakan bahwa,
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.” Namun, yang perlu ditekankan adalah berpendapat secara bebas dan
bertanggungjawab serta memperhatikan struktur normatif yang berlaku dalam
masyarakat, sehingga nantinya akan dinilai bahwa orang tersebut adalah orang
yang berbudaya. Apabila dilihat dari kasus-kasus di atas dapat dikatakan bahwa mereka belum bijak dan belum berbudaya
dalam menggunakan media sosial karena merugikan pihak lain, sehingga menjadi
perbincangan dan kontroversi di dalam masyarakat.
Sebenarnya sudah
ada kebijakan yang mengatur mengenai ujaran kebencian. Pada KUHP ujaran kebencian
ada dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ujaran kebencian ada dalam
Pasal 28 dan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun
pelaksanaan dari hukum ini masih dirasakan belum maksimal dan belum
tersosialisasikan dengan baik.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, Kapolri merasa perlu akan adanya surat edaran
agar anggota Polri memahami dan mengetahui bentuk-bentuk ujaran kebencian di
berbagai media dan penanganannya.
Surat Edaran tersebut berlandaskan pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Undang-Undang No.
12 Tahun 2008 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis, serta Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial.
Dengan adanya Surat
Edaran ini, diharapkan seluruh aparat kepolisian dapat menindak tegas siapa
saja yang menggunakan ujaran kebencian. Tidakan tegas tersebut diprioritaskan
bersifat preventif. Jika belum efektif maka aparat kepolisian dapat mengambil
tidakan hukum. Surat Edaran ini juga diharapkan membuat masyarakat menjadi
lebih beretika dan cerdas dalam menyampaikan pendapat di muka umum.
Pihak yang menolak
adanya surat edaran hate speech merasa khawatir bahwa surat edaran ini dapat
disalahgunakan anggota POLRI dan
mengkriminalisasi terhadap individu dan kelompok
masyarakat karena alasan-alasan tertentu. Selain itu mereka
takut bahwa dengan adanya Surat Edaran ini akan membungkam kebebasan berekspresi
masyarakat yang kemudian akan menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara yang otoriter.
Surat Edaran Hate
Speech sendiri sebenarnya ditujukan untuk mencegah agar jangan sampai suatu
ujaran kebencian dapat memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan
nyawa atau konflik sosial yang meluas. SE “Hate Speech” justru melindungi Hak
Asasi Manusia, bukan menentangnya sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak
pihak. Yang akan “dipersoalkan” oleh pihak kepolisian hanyalah “pendapat” yang
memiliki konteks “kebencian”, “provokasi”, dan “merendahkan” martabat suatu
pihak tertentu. Kritik ataupun saran yang membangun tentu saja tidak akan
“diusik”, apalagi sampai “dipersoalkan” oleh pihak kepolisian. Hal ini tentu
saja secara otomatis menepis anggapan bahwa SE “Hate Speech” ingin membungkam
kebebasan berpendapat masyarakat.
Setelah adanya
surat edaran hate speech terbukti bahwa ujaran kebencian di media sosial
menjadi semakin berkurang. Indonesia
Indicator, lembaga riset berbasis software Artificial Intelligence (AI)
mengatakan, sejak adanya Surat Edaran Kapolri mengenai Hate Speech, upatan dan
makian di media sosial kian menurun. Berdasarkan temuannya, umpatan itu menurun
hingga 53%. Dalam risetnya, Indonesia
Indicator juga menemukan bahwa ujaran kebencian mendapat perhatian cukup besar
oleh media massa online. Ada sekitar 1.297 pemberitaan terkait topik tersebut
dalam sebulan terakhir dan 53% di antaranya memiliki sentimen negatif.
·
Inovasi Kebijakan
Dalam era globalisasi,
hukum harus dapat mendukung dan mengimbangi tumbuhnya dunia teknologi. Untuk menghindari perpecahan maupun konflik dalam
masyarakat, diperlukan hukum yang mengatur agar masyarakat dapat lebih
bertanggungjawab dan lebih cerdas dalam mengungkapkan pendapatnya sesuai dengan
nilai-nilai budaya. Kebijakan Hate speech sangat relevan dengan prinsip
demokrasi yang dijunjung tinggi oleh Indonesia, yakni bebas berekspresi, bebas
mengemukakan pendapat tetapi tersaring dengan kebijakan hate speech demi
terjaganya persatuan bangsa Indonesia.
Dalam hal ini,
kita patut mendukung upaya Kapolri yang mengeluarkan mengeluarkan Surat Edaran
Nomor SE/06/X/2015 untuk lebih memberikan pedoman kepada Polri dalam menindak
pihak yang melakukan ujaran kebencian. Namun yang menjadi poit penting adalah
harus ada batasan yang jelas mengenai “ujaran kebencian” agar tidak
disalahgunakan oleh aparat untuk megkriminalisasikan individu atau kelompok
tertentu. Selain itu, pihak kepolisian juga wajib untuk tidak tebang pilih
ketika mengimplementasikan SE “Hate Speech”.
Pemerintah seharusnya juga dituntut lebih aktif lagi
dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakannya mengenai hate speech dan
perbedaannya dengan free speech. Agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi dan
menjadikan Indonesia menjadi rumah yang berbudaya. Pemerintah bekerjasama
dengan masyarakat melaksanakan sosialisasi ini.
·
Aktor-aktor
yang Terlibat dalam Kebijakan
Aktor yang terlibat dalam kebijakan hate speech ini
tentunya yang pertama adalah Polri sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan
tersebut, sehingga jika pada suatu masa terjadi hal/tindakan yang berkenaan dan
bersinggungan dengan hate speech, Polri akan menjadi pihak yang pertama
memberikan pertimbangan masuk atau tidaknya tindakan tersebut dalam ranah hate
speech. Pihak kedua yang terlibat adalah pemerintah sebagai pihak yang
mengeluarka kebijakan hukum yang mengatur kebebasan berpendapat. Pihak yang
ketiga adalah masyarakat sebagai pelaksana kebijakan, agen sosialisasi,
sekaligus pengawas kebijakan.
·
Sumber Referensi
Republika.co.id
Rappler.com
id.techinasia.com
Komentar
Posting Komentar