A.Latar Belakang Masalah
Dalam Sistem Politik Indonesia, kegiatan yang tidak dapat diabaikan
dalam proses pembuatan kebijakan adalah pelaksanaan/implementasi kebijakan.
Seideal apapun suatu kebijakan ketika dirumuskan, akan dirasakan dampak baik
atau buruknya ketika kebijakan tersebut dilaksanakan. Para pelaksana kebijakan
inilah yang sangat menentukan keadaan di lapangan. Di Indonesia terdapat
pemisahan fungsi antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Pembuat
kebijakan adalah para aktor politik, dalam hal ini legislatif. Sedangkan
pelaksana kebijakan adalah para birokrat yang disebut sebagai eksekutif. Birokrat
ini menentukan jalannya pemerintahan. Jika birokrasinya baik maka sejahteralah
masyarakatnya. Namun jika birokrasinya buruk maka yang ada hanya kesengsaraan
bagi masyarakat tersebut.
Namun sayangnya terdapat suatu image
negatif yang tergambar dalam pikiran masyarakat Indonesia ketika mendengar kata
“birokrasi”. Birokrasi selalu dibayangkan dengan sistem yang berbelit-belit dan
menyusahkan masyarakat. Birokrasi dipandang sebagai organisasi yang tidak
efisien dengan pegawai yang kian banyak dan bermental korup. Itulah realita
yang ada dalam pemerintahan Indonesia. orang-orang menjadi “phobia” ketika mendengar kata birokrasi.
Padahal seharusnya birokrasi sebagai pelaksana kebijakan melayani
masyarakat dengan seefisien mungkin dan tanpa menyusahkan orang banyak.
Terdapat berbagai kepentingan yang masuk dalam birokrasi sehingga menyebabkan
birokrasi di Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Hal ini tentunya tidak
terlepas dari sejarah pemerintahan di Indonesia, terutama budaya politisasi birokrasi
yang mengaburkan tugas utama dari birokrasi sebagai pelayan publik.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah
yang dapat dikemukakan adalah :
1.
Bagaimana sejarah politisasi birokrasi di Indonesia?
2.
Apa saja fenomena politisasi birokrasi di Indonesia?
3.
Bagaimana upaya memperbaiki birokrasi di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
Bertolak apa yang dikemukakan pada rumusan
masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui sejarah politisasi birokrasi di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui contoh konkret fenomena politisasi di Indonesia.
3.
Untuk mencoba menawarkan solusi permasalahan politisasi birokrasi di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini ada 2, yakni
1.
Manfaat teoritis
Secara teoritis
manfaat yang dapat diharapkan dari penulisan makalah ini adalah untuk
penambahan pengetahuan mengenai politisasi birokrasi di Indonesia.
2.
Manfaat praktis
Secara praktis,
manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah dapat mendorong
terciptanya kesadaran mengenai permasalahan politisasi birokrasi di Indonesia
dan mencoba menawarkan solusi mengenai permasalahan tersebut.
E.
Pembahasan
E.1 Sejarah Politisasi
Birokrasi di Indonesia
Birokrasi merupakan
mesin yang menjalankan suatu negara (state
michenary). Jika tidak ada Negara maka tidak ada birokrasi. Begitupun tidak
ada Negara yang dapat berjalan tanpa adanya birokrasi. Terdapat dua pandangan
mengenai birokrasi. Yang pertama yaitu Mazhab Kebutuhan Rakyat yang memandang
birokrasi ada karena dibutuhkan masyarakat. Oleh karena itu tugas utama birokrasi
adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Pelayanan publik menyesuaikan
dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga masyarakat dari satu
wilayah mempunyai pelayanan yang berbeda dengan masyarakat dari wilayah lain.
Sedangkan pendapat
yang kedua yaitu Mazhab Kekuasaan, memandang birokrasi sebagai pelayan bagi
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Pemikiran politik tradisional juga
kebanyakan menganut mazhab ini dengan menganggap organisasi diciptakan sebagai
institusi pelayan raja/kaisar. Aparat birokrasi memiliki tugas untuk melaksanakan
titah kekuasaan raja yang diberikan oleh Tuhan sehingga mereka sepenuhnya
bertanggung jawab kepada raja, dan bukan kepada rakyat.
Dari kedua mazhab
tersebut, dapat diambil tiga pemaknaan dalam birokrasi, yaitu dalam arti positif,
Birokrasi adalah organisasi yang membantu masyarakat dalam mencapai
tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien. Birokrasi diberi makna negatif ketika
organisasi birokrasi dikatakan sebagai organisasi yang organisasi boros, tidak
efisien dan tidak efektif, korup, dan lain-lain. Birokrasi adalah alat penguasa
untuk menindas rakyatnya, yang berarti birokrasi harus selalu tunduk dan patuh
pada penguasa dan tidak perlu memperhatikan rakyatnya. Yang ketiga memaknai birokrasi
sebagai organisasi netral dimana hanya menjalankan pekerjaan teknis
administratif dari kehidupan pemerintah (Negara).
Di sepanjang sejarah politik
Indonesia, para penguasa selalu menjadikan birokrasi sebagai sasaran yang empuk
bagi politisasi. Politisasi sendiri menurut KBBI merupakan hal membuat keadaan
(perbuatan, gagasan, dan sebaginya) bersifat politis. Juga berarti membuat atau
mengupayakan agar sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Politisasi birokrasi
artinya membuat agar orgnisasi birokrasi bekerja dan berbuat sesuai dengan
kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada didua sisi berasal
dari sisi partai politik yang mengintervensi birokrasi atau dari eksekutif itu
sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingan/kekuasaannya sendiri.
Tetapi keduanya memiliki kepentingan yang sama yaitu melanggengkan atau
mempertahankan kekuasaan. Politisasi birokrasi menjadi hambatan bagi tumbuhnya
proses profesionalisasi di dalam birokrasi.
Terdapat tiga tipe politisasi di Indonesia,
yaitu
1.
Tipe politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode Demokrasi
Parlementer (1950-1959)
Pada masa ini, dapat
kita lihat berbagai partai politik yang berusaha menduduki jabatan menteri. Setelah
memimpin suatu kementerian, menteri tersebut menarik anggotanya agar masuk ke
partainya dengan cara memperlihatkan kepemimpinan dan kebijakan yang dibuatnya
sebagus mungkin. Setelah itu dapat kita lihat beberapa kementerian yang
akhirnya didominasi oleh partai tertentu, misalnya Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Pertanian didominasi oleh PNI, Kementerian Agama didominasi secara
bergantian oleh NU atau Masyumi, Kementerian Luar Negeri didominasi secara
bergantian oleh PSI dan PNI.
2.
Kedua, politisasi setengah terbuka. Tipe politisasi ini dijalankan oleh
para pemimpin partai politik pada masa periode Demokrasi Terpimpin.
Dikatakan setengah
terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukkan bagi parpol-parpol yang
mewakili golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom). Namun dalam
hal ini PKI ditentang oleh golongan Nasionalis dan agama, juga pihak militer. Sebagai
jalan tengah, Sukarno menempatkan pemimpin atau tokoh organisasi satelit PKI,
misalnya Baperki, untuk memimpin sebuah kementerian dan kemudian melakukan
politisasi.
3.
Ketiga, politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada
masa Orde Baru.
Pada masa mulai dari
tingkat pusat (Presiden Suharto) sampai ke tingkat Desa atau kelurahan
(lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk menjadi anggota yang sekaligus
pembina Golkar. Memang terdapat dua buah partai lagi, yaitu PPP dan PDI, akan
tetapi sejak mulai diterima menjadi pegawai negeri setiap orang sudah dihadang
untuk membuat pernyataan tertulis di atas kertas yang bermeterai. Di atas
kertas tersebut dinyatakan bahwa calon pegawai tersebut tidak akan masuk
menjadi anggota parpol. Secara umum pernyataan tertulis itu memberikan kesan
bahwa pernyataan itu berlaku bagi Golkar, PPP, dan PDI. Tetapi di dalam
realitasnya para calon pegawai itu digiring masuk ke Golkar karena Golkar tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai parpol. Tegasnya pernyataan tertulis tersebut
dipergunakan untuk menghindari keharusan akan adanya larangan tertulis bagi
para calon pegawai negeri masuk ke PPP dan PDI. Kepada kedua partai tersebut
dapat diajukan bukti, justru pegawai negeri sendiri yang tidak menginginkan
masuk parpol. Dapat pula ditambahkan, semua jabatan di bawah menteri yang antara
lain jabatan bagi birokrat karier dijadikan jabatan politik. Akibatnya karier
birokrat tersumbat karena tidak tersedia jalan bagi para birokrat untuk
melakukan mobilitas vertikal menuju posisi-posisi puncak kariernya. Kondisi
tersebut dipertajam dengan mekanisme rekrutmen pegawai negeri yang dilakukan
secara terbuka dan besar-besaran mendekati waktu pemilihan umum (pemilu). Meskipun diakui bahwa penerapan kebijakan
monoloyalitas birokrasi pada masa orde baru ikut membantu menciptakan
stabilitas dan kemampuan umum pemerintah yang memungkinkan pemerintah didukung
birokrasi melakukan pembangunan di berbagai bidang tetapi kinerja birokrasi hanya menguntungkan
penguasa dan bukan rakyat. Hal ini berbeda dengan era orde lama yang sangat
sulit melakukan pembangunan karena anggota birokrasi terpecah belah ke dalam
berbagai afiliasi politik (partai-partai politik berbasis Nasakom).
E.2 Fenomena Politisasi Birokrasi di Indonesia
sampai saat ini
Fenomena politisasi birokrasi yang ada sampai
sekarang adalah mempolitisasir fasilitas negara. Beberapa hasil penelitian melaporkan adanya
fasilitas negara yang turut dipakai pada saat proses rapat-rapat konsolodasi,
lobi politik dengan partai politik lain, dan kampanye (mobilisasi massa).
Fasilitas negara yang biasanya dimanfaatkan adalah mobil dinas, pakaian dinas,
dan ruang-ruang rapat (gedung-gedung) milik negara. Penggunaan fasilitas negara
ini bisa dilakukan oleh birokrat-birokrat yang sedang menjalani proses politik
(pemilu). Hal ini membuat para birokrat tidak lagi fokus pada pelayanan
masyarakat, namun justru sibuk memanfaatkan fasilitas untuk mendapatkan
kekuasaan.
Fenomena yang kedua adalah memobilisasi pegawai
negeri pada saat pemilu dan pilkada. Sebenarnya upaya untuk meningkatkan
netralitas birokrasi sudah ada sejak tawaran UI dan desakkan untuk pembubaran KORPRI
atau netralitas birokrasi dalam proses politik. Namun disisi lain ada pendapat
bahwa hak berpolitik adalah hak seluruh warga negara. Dan pendapat kedualah
yang menang. Tapi hal ini justru membuat suara pegawai negeri menjadi salah
satu modal yang menjanjikan. Dengan iming-iming janji akan diberi jabatan atau
perintah untuk mendukung atasannya, mobilisasi pegawai negeri pada saat pemilu
dan pilkada sangat banyak terjadi baik proses pemilihan di tingkat
kabupaten/kota, propinsi, dan juga pusat.
Yang ketiga adalah adanya kompensasi Jabatan. Kompensasi
jabatan ini banyak terjadi dan mudah dilihat di tingkat pusat. Setelah reformasi,
terjadi kecenderungan intervensi politisi terhadap berbagai kebiajkan
birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistem
pemerintahan. Contoh yang paling baru adalah adanya koalisi dalam kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II, dimana disitu terlihat partai-partai yang bersedia
berkoalisi dengan Partai Demokrat mendapatkan jatah kursi di kabinet. Jumlah
kursi yang didapat sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh saat pemilihan
legislatif, tetapi disertai juga dengan politik tawar menawar. Di daerah
jabatan-jabatan strategis (sekda, kepala biro, kepala dinas, kepala kantor,
kepala badan) menjadi ajang lobi politik antara partai pemenang dengan
partai-partai lainnya. Dampak yang muncul dari kompensasi jabatan antara
penguasa dan partai politik adalah terganggunya kinerja birokrasi yang
seharusnya memegang teguh merit sistem (berdasar profesionalisme). Karena
sebenarnya banyak birokrat yang profesional, tetapi kalah dengan birokrat lain
yang punya dukungan dari partai-partai politik.
Selain kompensasi jabatan, deal-deal yang
terjadi antara penguasa dan partai-partai koalisi adalah pemberian jatah pada
saat pemerintah pusat atau pemerintah daerah akan mengadakan rekruitmen pegawai
negeri baru. Dan pembagian jatah itu jelas terlihat karena untuk menjadi
pegawai negeri harus ada yang ”membawa”. Dan salah satu pihak yang bisa
”membawa” adalah (atas nama) partai-partai politik.
Selanjutnya adalah adanya komersialisasi jabatan.
Seorang birokrat di satu sisi memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan,
pelatihan, dan kenaikan pangkat yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Di
sisi yang lain harus merogoh koceknya kembali untuk mendapatkan suatu posisi
dalam jenjang karirnya. Oleh karena itu, seorang birokrat harus melakukan
komersialisasi jabatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama
mengikuti pendidikan, pelatihan, dan mendapatkan jabatan baru. Dampak yang
muncul adalah seorang birokrat bukannya berusaha mempraktikkan
pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan tetapi
melakukan usaha politisasi untuk memperoleh perlindungan (pengamanan) atas
posisi jabatannya agar tidak tergeser oleh pihak lain. Pada umumnya motivasi para birokrat untuk mengikuti pendidikan dan
latihan bukan untuk menguasai keahlian yang profesional tetapi hanya untuk
memenuhi syarat formal guna memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Politisasi
dipandang sebagai sebuah alternatif untuk memudahkan jalan menuju jabatan
tersebut. Jadi meskipun sudah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan secara
profesional tetapi begitu mulai melaksanakan pekerjaannya para birokrat tadi
kembali menempuh langkah-langkah politisasi untuk mengamankan posisi
jabatannya.
E.3 Reformasi Birokrasi sebagai pencegahan politisasi
birokrasi
Masalah politisasi birokrasi ini memang harus
segera dibenahi. Karena jika tidak hal ini dapat menghambat jalannya kerja birokrasi.
Charles E. Lindblom mengingatkan, keasyikan birokrasi bermain dalam politik,
pada suatu titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien
dan amoral. Berbagai upaya telah ditawarkan, salah satunya adalah reformasi birokrasi
dimana perlu dibangun birokrasi
berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya
dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan
hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan
memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari
cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan
kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai
prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan
dengan sama pentingnya.
Selain itu, ciptakan birokrasi yang
propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia ke depan
perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarakat
untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar pengawasan dan represi
terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-cara penguasaan
masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi.
Kemudian birokrasi bertindak profesional
terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam
memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan
liar. PNS perlu memberikan informasi dan
transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya
(public accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau
kelompok kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung
terbangunnya proses demokratisasi.
Membuat birokrasi yang saling bersaing antar
bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara
kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan
liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
Merubah sistem birokrasi yang melakukan
rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan
mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi
yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji
sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif,
diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan).
Lalu tegakkan Birokrasi yang bersikap netralitas
politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk
kepentingan partai politik tertentu.
F. Kesimpulan dan Saran
F.1 Kesimpulan
Di level birokrasi, budaya politisasi birokrasi masih kental dalam proses
pelayanan publik. Para birokrat masih didominasi oleh budaya kekuasaan dan
bukan budaya kinerja. Promosi jabatan tak didasarkan pada meritokrasi atas
kompetensi dan kinerja, melainkan pada afiliasi politik dan kepentingan.Namun
masih ada harapan untuk memperbaiki sistem birokrasi di Indonesia dengan
menerapkan sistem birokrasi yang dapat mencegah politisasi birokrasi.
F.2 Saran
Model reformasi
birokrasi perlu dirancang untuk membuat
pemerintah yang baik dan sistem birokrasi yang efektif. yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional,
melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi
antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong tegaknya hukum dan
bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility)
secara teratur. Jika sistem pemerintahannya baik, maka negara tidak akan
diragukan lagi perannya dalam membuat kesejahteraan rakyatnya.
Daftar Pustaka
Martini, Rini, Politisasi
Birokrasi Di Indonesia. 2010, POLITIKA, Vol. I, No. 1.
Rozi, Syafuan, Model Reformasi
Birokrasi, 2000, PPW LIPI.
Komentar
Posting Komentar