RESUME BUKU “ENAM DIMENSI STRATEGIS ADMINISTRASI PUBLIK KONSEP, TEORI, DAN ISU”



RESUME BUKU
“ENAM DIMENSI STRATEGIS ADMINISTRASI PUBLIK
 KONSEP, TEORI, DAN ISU”
Yeremias T. Keban, Ph.D

Oleh
Lintang Ayu Saputri/F1B015026

BAB 1 PENDAHULUAN

Walaupun sudah berkembang cukup lama, istilah administrasi publik sampai saat ini masih rancu dan sering dipahami sebagai kegiatan ketik-mengetik, tata usaha, dan urusan perkantoran. Padahal pengertian administrasi publik lebih dari sekedar hal tersebut.

Istilah administrasi telah diungkapkan oleh banyak ahli seperti A. Dunsire, Trecker, dan sebagainya. Secara umum, administrasi merupakan proses kegiatan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Jadi, Administrasi publik merupakan proses administrasi dalam lingkup publik (kepentingan orang banyak). Menurut Chandler dan Plano, administrasi publik adalah proses dimana sumberdaya dan personel publik diorganisir dan dikoordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan mengelola keputusan-keputusan dalam kebijakan publik.

Ada yang mempersepsikan administrasi publik sebagai administrasi dari publik, oleh publik, dan untuk publik. Administrasi dari publik artinya pemerintah sebagai agen tunggal yang berkuasa mengatur masyarakat. Administrasi untuk publik, maksudnya pemerintah mengemban misi untuk melayani masyarakat. Sedangkan dalam administrasi oleh publik, artinya pemerintah sebagai fasilitator, masyarakatlah yang akan mengatur kehidupannya sendiri.

Administrasi publik juga dapat dilihat dari kategori politik, legal/hukum, manajerial, dan matapencaharian. Dalam politik, administrasi publik adalah “apa yang dikerjakan pemerintah” baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan kategori hukum, administrasi publik adalah penerapan hukum, sebagai regulasi dimana pihak yang dirugikan harus tunduk dan mentaatinya. Dari segi manajerial, administrasi publik hanya meliputi kegiatan eksekutif pemerintahan saja. Dari segi matapencaharian, administrasi publik merupakan suatu bentuk profesi di sektor publik.

Dari buku Nicholas Henry, James L. Perry, maupun Shafritz dan Russel, dapat disimpulkan bahwa dimensi strategis yang dibicarakan dalam administrasi publik adalah dimensi “kebijakan” (respon secara benar terhadap kebutuhan masyarakat dalam membuat kebijakan), “organisasi” (pengaturan struktur organisasi agar kewenangan dan tanggung jawab termasuk perilakunya sesuai dengan kondisi), “manajemen” (faktor internal dan eksternal), “moral dan etika” (agar kewenangan tidak disalahgunakan untuk kepentingan diluar kepentingan publik), “lingkungan” (mengenali karakteristik tempat administrasi publik beroperasi) , dan “akuntabilitas kerja” (janji kepada publik yang harus dipenuhi).

Hubungan antar keenam dimensi ini saling terkait. Terlebih pada dimensi ligkungan, kebijakan, organisasi, manajemen, dan etika sangat berpengaruh pada kinerja administrasi publik. Jika kinerja administrasi negara buruk, penyebabnya dapat ditelusuri dari dimensi ini. Hubungan ini merupakan hubungan yang bersifat strategis (penting) karena kebanyakan masalah kinerja berasal dari sini.

Administrasi Publik berperan sangat penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat, menentukan kestabilan, ketahanan, dan kesejahteraan suatu Negara. Karena kegiatan administrasi publik pada dasarnya adalah kegiatan pelayanan masyarakat, baik di bidang kesehatan, pendidikan, keamanan, ketertiban, perijinan, hukum, ekonomi, dsb.  Secara khusus administrasi publik difkuskan pada aspek manajemen sebagai pelaksanaan dari kebijakan publik. Kegiatan ini dilakukan baik oleh pejabat struktural (pemegang eselon) sampai pejabat non struktural yang tidak memimpin suatu unit. Tujuan dari kegiatan administrasi publik adalah untuk memenuhi kepentingan publik, apa yang diinginkan atau dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Perbedaan antara Administrasi Publik dengan Administrasi swasta adalah pada pihak yang dilayani. Administrasi publik melayani masyarakat sedangkan Administrasi swasta melayani kepentingan pribadi. oleh kerena itu, administrasi swasta bersifat mencari keuntungan, sedangkan administrasi publik tidak. Administrasi swasta lebih tergantung pada pasar, lebih otonom, dan kurang mendapat pengaruh politik, sedangkan administrasi Publik bersifat sebaliknya. Selain itu pada efisiensi dan efektivitas administrasi publik tidak harus mencapai titik optimum karena harus memperhatikan keadilan, dan tanggungjawab publik.

Dalam pelaksanaannya, administrasi publik membutuhkan sosok administrator yang memiliki technical skills, human skills, conceptual skills, responsif terhadap institusi-institusi demokratis, berorientasi pada hasil, mampu mengembangkan jaringan kerja, dan memiliki kemampuan melakukan komunikasi dan menjaga keseimbangan antara keputusan dan kegiatan. Selain itu, dirasa penting untuk melakukan evaluasi terhadap kemampuan administrator agar kualitas administrator semakin lebih baik.

Terdapat banyak isu benturan nilai-nilai dalam administrasi publik. Oleh karena itu, seorang administrator harus mempunyai kekuasaan yang luas dan merupakan seseorang yang profesional dan mempunyai etika dan akuntabilitas yang tinggi agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

BAB 2 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ADMINISTRASI PUBLIK

Administrasi publik sejatinya sudah ada sejak dulu ketika terdapat pembagian status antara pemerintah dengan yang diperintah, apapun bentuknya. Karena dalam proses memerintah dan melayani masyarakat pastinya dibutuhkan sistem administrasi atau manajemen yang kompleks. Meskipun begitu, ilmu ini baru mulai diajarkan di Universitas di Indonesia pada tahun  1950’an.

Literatur kuno administrasi negara dapat dilihat dalam buku pemikiran Confucius, Plato, Machiavelli, De Montesquieu, Roessau, Bonnin, Hegel, Vievin, John Stuart Mill. Tulisan tersebut telah membuktikan bahwa ternyata administrasi publik sudah sering dibicarakan sebelum berdirinya administrasi publik yang diprakarsai oleh Wodrow Wilson.

Sampai saat ini terjadi beberapa kali pergeseran paradigma Administrasi Publik. Paradigma adalah suatu cara pandang, nilai-nilai, metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu masalah, yang dianut oleh suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu. Menurut Nicholas Henry, terdapat 5 paradigma, yaitu :

Paradigma 1 (1900-1926) adalah “dikotomi politik-administrasi negara”.  Tokoh yang memperkenalkan adalah Frank J. Goodnow dan Leornard D. White. Goodnow dalam “Politics and Administration” berkata bahwa politik sebagai pembuat kebijakan sedangkan administrasi negara adalah pelaksana kebijakan. Administrasi negara harus bebas nilai, dan diarahkan untuk mencapai efisiensi dan ekonomi dari birokrasi pemerintahan.

Paradigma 2 (1927-1937) disebut “Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi Negara”. Tokoh yang terkait adalah Willoughby, Gullick & Urwick yang dipengaruhi pemikiran Fayol dan Taylor. Prinsip yang diperkenalkan adalah POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, dan Budgeting).

Paradigma 3 (1950-1970) adalah “Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik”. Menurut John Gauss, teori administrasi negara adalah teori politik dimana lokusnya adalah birokrasi pemerintahan.

Paradigma 4 (1956-1970) berkembang pemikiran “Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi”. Prinsip manajemen dikembangkan secara ilmiah dan mendalam. Fokusnya adalah perilaku organisasi, analisis manajemen, penerapan teknologi modern. Namun lokusnya kurang jelas.

Paradigma 5 (1970-sekarang) adalah “Administrasi Publik sebagai Administrasi Publik”. Fokusnya adalah teori organisasi, teori manajemen, dan kebijakan publik. Sedangkan lokusnya adalah masalah dan kepentingan publik.
Gerald E. Caiden menyatakan aliran administrasi publik dibagi menjadi aliran proses administratif (aliran empiris, aliran pengambilan keputusan, aliran matematik) dan aliran administrasi yang holistik (aliran perilaku manusia, aliran analisis birokrasi, aliran sistem sosial,dan aliran integratif).

Donald F. Kettl juga mengungkapkan paradigma tahapan pengembangan administrasi publik yaitu tahap sentralitas administrasi (1887-1915) yang memusatkan perhatian untuk menciptakan administrasi yang profesional, tahap scientific management (1915-1940) yang menekankan “scientific approach” dan mengesampingkan dunia politik, tahap uji diri kritis (critical self-examination, 1940-1969) yang lebih menekankan prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan, dan tahap terjadinya faktor-faktor sentrifugal (1969-sekarang) yaitu saat terjadinya kerumitan pemisahan antara administrasi publik dan politik.

G.D Garson dan E.S Overman pada tahun 1983 mengenalkan PAFHRIER (Policy analysis, Financial, Human Resources, Information, dan External Relation) yang menjadi inti manajemen publik.

Barzelay (1992) dan Armajani (1997) mengenalkan paradigma “post-bereaucratic” yang berbeda dengan paradigma birokratik. Post-bereaucratic lebih menekankan hasil yang berguna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk,  dan keterikatan pada norma. Dibandingkan paradigma birokratik yang mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur.

D. osborne dan T. Gaebler (1992) kemudian dioperasionalisasikan  Osborne & Plastrik (1997) memunculkan paradigma “Reinventing Government”. Pemerintahan harus bersifat katalitik, memperdayakan masyarakat, mendorong semangat kompetisi, berorientasi pada nilai, berorientasi pada misi, mementingkan hasil dan bukan cara, mengutamakan kepentingan pelanggan, berjiwa wirausaha, selalu berupaya mencegah masalah atau bersifat antisipatif, bersifat desentralis, dan berorientasi pada pasar.

Paradigma ini kemudian dikenal dengan nama “New Public Management” dengan menerapkan prinsip “good governance” yaitu pemanfaatan manajemen profesional dalam sektor publik, penggunaan indikator kinerja, penekanan yang lebih besar pada kontol output, pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil, pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi, penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen, penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi pada penggunaan sumberdaya.

 New Public Management ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi seperti the effciency drive yang mengutamakan efisiensi kinerja, downsizing and decentralization yang mengutamakan penyederhanaan struktur agar berfungsi secara cepat dan tepat,  in search of excellence yang mengutamakan kinerja optimal dala memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan, dan public service orientation yang menekankan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas pejabat.
Tahun 2003 muncul paradigma baru yaitu “the new public service” oleh J.V Denhardt dan R.B Denhardt. Menurut mereka, administrasi publik harus melayani warga masyarakat, bukan pelanggan, mengutamakan kepentingan publik, lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan, berpikir strategis dan bertindak demokratis, menyadari akuntabilitas bukan sesuatu yang mudah, melayani daripada mengendalikan, dan menghargai orang daripada produktivitas semata.

Perubahan paradigma seperti yang telah disebutkan tadi terjadi karena pengaruh dari berbagai ilmu dan teknologi. Dari ilmu manajemen klasik yang dipopulerkan Robert owen, Taylor, Fayol telah menyumbangkan prinsip-prinsip manajemen yang kemudian diadopsi ke dalam administrasi publik. Hal ini diperkuat dengan terbitnya “Pappers on The Science of Administration” karya Gulick & Urlick yang berisi POSDCORB. Namun kemudian konsep ini banyak menuai kritikan karena tidak mempertimbangkan konteks sosial dan politik dimana fungsi-fungsi manajemen dilaksanakan.

Ilmu Administrasi Negara mempengaruhi dalam hal pengambilan keputusan dengan memanfaatkan teknologi komputer oleh Herbert Simmon. Ilmu politik menyumbangkan pendapat bahwa administrasi publik sebagai medan politik dimana kelompok kepentingan terlibat dalam pemilihan kebijakan. Pengaruh sosiologi dapat dilihat dari teori birokrasi, sistem, perubahan sosial, kelas, kekuasaan, dan masyarakat ke dalam administrasi publik. Ilmu ekonomi berperan dalam pemikiran pengelolaan secara efektif dan efisien. Psikologi sosial juga ikut menyumbangkan mengenai produksi kerja. Sejarah merumuskan metode studi kasus untuk pengambilan keputusan, reorganisasi pemerintahan, dan anggaran. Administrasi  publik juga sangat dipengaruhi ilmu perbandingan administrasi dan globalisasi, sera teknologi, teknik, dan spesialisasi baru.

Perkembangan administrasi publik menurut Stillman menjadi tiga model, yaitu “No-state” model, “Bold state” model, “pre-state” model, dan “pro-state” model. “No-state” model mulai berkembang sekitar tahun 1980-an ketika peran administrator hanya sebagai formalitas dalam pemerintahan, pemerintah lebih mengutamakan kebebasan individu. “Bold-state model menenpatkan negara dalam mempromosikan dan menjaga kehidupan publik. Administrator diangkat berdasarkan spesialisasi. “Pre-state” model berpendapat diantara “No –state mo del” dan “Blod-state” model dimana kebijakan sehrusnya dipengaruhi oleh pemerintah dan rakyat. Namun model ini belum mempunyai metode standar dan teknik yang tepat. Dalam “Pro-state” model yang muncul setelah PD II lebih memercayai teknologi dan penemuan ilmiah untuk diterapkan pada administrasi publik.Administrator berperan sebagai penuntun. Namun model ini pun menuai banyak kritikan karena dianggap terlalu mekanstik dan positivist, buta terhadap dimensi intuitif, cenderung merendahkan derajat pemerintah (dehumanisasi), dan dianggap sangat bersifat instrumentalis.



BAB 3 DIMENSI KEBIJAKAN

Dimensi kebijakan sangat terkait dengan keputusan apa yang nantinya akan dikerjakan. Apa yang akan dikerjakan harus didasarkan atas masalah, kebutuhan, atau aspirasi tertentu.

Kebijakan merupakan suatu keputusan dan bersifat hirarkis mulai dari tingkat yang paling tinggi sampai pada paling bawah (Shariftz dan Russel, 1997). Sedangkan Kebijakan Publik merupakan pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintahan.

Secara umum, bentuk kebijakan ada 4, yaitu bentuk “regulator” yang mengatur perilaku orang, bentuk “redistributive” kekayaan yang ada, bentuk “distributive” atas sumberdaya, dan bentuk “constituent” untuk melindungi negara.

Menurut J.Q. Wilson, tipe kebijakan terdiri dari “majoritarian” yang mendistribusikan biaya dan menerima keuntungan, “client” membebani masyarakat dengan subsidi lalu kenikmatan hanya dinikmati beberapa orang saja, “entrepreurial” memberi biaya pada sekelompok orang namun keuntungan dinikmati bersama, dan “interest group” yang mengusahakan biaya/keuntungan pada sekelompok orang saja.

Paradigma kebijakan publik sering mengalami pergeseran. Di negara berkembang, ada 2 paradigma yang terkenal, yaitu society-centered models (“social class analysis” dimana kebijakan merupakan usaha kelas, “pluralism” yang mengatakan bahwa kebijakan merupakan hasil dari konflik, dan “public choice” yang berpendapat bahwa kelompok mencari kepentingan dengan memanfaatkan sumberdaya publik) dan state-centered models (“rational actor” dimana aktor adalah pemilih rasional yang menentulan kebijakan, “beraucratic politics” yang mengungkapkan bahwa struktur negara adalah arena elit memenangkan kepentingan , dan “state interests” yang berkata bahwa negara mempunyai kepentingan sendiri dan selalu berusaha menjaga keutuhan negara).

Kebijakan Publik mempunyai prinsip seperti tahap-tahap kebijakan, analisis kebijakan, implementasi kebijakan, dan monitoring & evaluasi kebijakan.

Tahap-tahap kebijakan terdiri dari penetapan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

 Pada prinsip analisis kebijakan dibedakan menjadi identifikasi masalah dimana masalah harus sesuai dengan data dengan metode yang telah disepakati. Pada tahap ini diharapkan adanya gambaran masalah yang dihadapi. Prinsip kedua adalah identifikasi alternatif, dimana aspek teoritis dan praksis harus jadi acuan untuk membuat alternatif kebijakan. Prinsip ketiga adalah seleksi alternatif, disini perencana menyeleksi alternatif pilihan secara selektif dan rasional dengan tiga tahapan, yaitu menyepakati kriteria alternatif, penentuan alternatif terbaik, dan pengusulan alternatif terbaik. Prinsip keempat yaitu implementasi kebijakan yang berkaitan dengan realisasi program. Administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

Dalam realisasi program, terdapat hambatan baik dari luar maupun dari dalam. Ada 3 faktor yang mempengaruhi keberhasilan, yaitu kebenaran logika, kerjasama, dan kemampuan sumberdaya manusia. Selain itu ada prinsip Monitoring dan Evaluasi kebijakan untuk mengawasi jalannya implementasi dan melihat kegunaan program dan inisiatif baru. Dalam pengawasan, biasanya terdapat subjektivitas dalam evaluasi. Hal ini yang menimbulkan masalah dalam evaluasi.

Dalam membuat kebijakan, terdapat isu tentang etika kebijakan karena kadang terdapat kepentingan yang masuk dalam pembuatan kebijakan, isu pragmatis yaitu dengan munculnya paradigma baru dalam kebijakan publik, isu kualitas, efektifitas dan kapasitas kebijakan, dan isu kepalsuan kebijakan yang muncul karena perumus kebijakan memiliki motif khusus dalam merumuskan kebijakan.



BAB 4 DIMENSI MANAJEMEN

Dimensi manajemen terkait dengan bagaimana melaksanakan apa yang telah diputuskan melalui prinsip manajemen. Manajemen sendiri merupakan suatu proses pencapaian hasil melalui orang lain. Sedangkan manajemen publik berarti manajemen instansi pemerintah.

Paradigma manajemen publik mengalami 3 pergeseran. Yang pertama manajemen normatif, dimana manajemen sebagai suatu proses penyelesaian tugas atau pencapaian tujuan. Dalam manajemen normatif terdapat fungsi PoSDCoRB seperti yang disebutkan diawal. Manajemen normatif terdiri dari 3 model, yaitu model tradisional, human relations, dan human resources. Paradigma kedua adalah Manajemen deskriptif dimana fungsi manajemen terdiri dari kegiatan personal, interaktif, administratif, dan teknis. Paradigma ketiga adalah Manajemen Publik yang berasal dari manajemen normatif. Perkembangan paradigma ini mengikuti pergeseran paradigma administrasi publik dan dengan model PAFHRIER (Policy Analysis, Financial Management, Human Resource Management, Information Management, dan External Relation).

Fungsi manajemen dibagi menjadi fungsi manajemen kebijakan, manajemen SDM, manajemen keuangan, manajemen informasi, dan fungsi manajemen hubungan luar. Dalam fungsi manajemen kebijakan, manajer publik harus mendorong agar kebijakan yang diusulkan dapat menyangkut aspek teknis dan aspek politis agar dapat diterima masyarakat. Pada fungsi manajemen SDM, manajer publik perlu memerhatikan jumlah, jenis, kualitas, distribusi, dan utilisasi SDM yang bekerja pada organisasi. Hal ini biasanya diatur oleh bagian personalia. Dalam fungsi manajemen keuangan, tugas manajer adalah mencari dana, merencanakan dan mengalokasikannya sesuai dengan kebutuhan yang ada secara optimal dan sesuai rencana. Pada fungsi manajemen informasi, data yang diperoleh akan sangat bermanfaat bagi pengambilan keputusan. Fungsi Manajemen Hubungan Luar juga penting dalam hal membentuk jaringan dengan pihak luar.

Isu terkait dengan dimensi manajemen adalah mengenai pelibatan sektor swasta dan masyarakat yang semakin diragukan kualitas pelayanannya, ada pula isu yang memertanyakan akuntabilitas manajemen, berkaitan dengan kompetensi standard dalam tugas pekerjaan, pengukuran kinerja, pengorganisasian dan pengontrolan sumberdaya, sistem insentif dan disinsentif. Isu yang lain adalah terkait dengan komitmen dan profesionalisme.

BAB 5 DIMENSI ORGANISASI

Dimensi organisasi berisi mengenai siapa yang harus mengimplementasikan kebijakan. Menekankan pada pembagian tugas, kompetensi anggota dalam melaksanakan tugas, dan keseimbangan otoritas dengan kemampuan pengerjaan tugas. Selain itu ada pula aspek gejala “parkinson” dimana pemimpin terus mengangkat karyawan sebagai lambang kekuasaan dan kepemilikannya. Tak lupa juga memperhatikan aspek penilaian efektivitas organisasi.

Menurut Shafritz dan Russel (1997), organisasi merupakan suatu kelompok orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Pengelompokan ini berdasarkan prinsip pembagian kerja, peranan dan fungsi, hubungan, prosedur, aturan, standard kerja, tanggung jawab, dan otoritas tertentu. Wujud pengelompokan dapat dilihat melalui struktur dan hirarki.

Teori organisasi selalu mengalamu perubahan paradigma. Paradigma pertama adalah merancang organisasi untuk mencapai efisiensi dengan sistem otoritas dan menekankan spesialisasi, sentralisasi, dan formalitas. Namun dikritik karena kurang manusiawi. Paradigma kedua menempatkan manusia sebagai makhluk sosial dan ingin bekerja dengan suasana menyenangkan. Jadi, peran kebutuhan sosial dan kondisi lingkungan kerja penting dalam bekerja. Paradigma ketiga memandang organisasi sebagai sistem yang terdiri dari saling ketergantungan dengan lingkungan, keterbukaan pada lingkungan, keseluruhan bagian dari lingkungan, sifat rasionalitas dan obyektif, serta kelompok kerja yang kohesif. organisasi sebagai “mechanic system” dan “organic system”. Paradigma keempat berpendapat bahwa organisasi sebaiknya membentuk pasangan unit kerja (mengembangkan network dengan organisasi lain). organisasi seharusnya mempunyai anggota yang emansipatif, mandiri, dan diberdayakan untuk mengelola organisasinya. Perubahan paradigma ini juga dipengaruhi oleh teori birokrasi max weber, dan baru-baru ini (1993) muncul paradigma reinventing government/postburacratic yang lebih memberdayakan organisasi.

Organisasi mempunyai desain struktur, yaitu proses yang berkaitan dengan bagaimana aktivitas organisasi dituangkan dalam bentuk struktur agar mempermudah manajer mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Hal yang dikembangkan dalam desain organisasi adalah hirarki dari tujuan organisasi, konsep pembagian kerja, dan sistem koordinasi dan kontrol.
Pola interaksi antar anggota organisasi ditunjukkan melalui struktur organisasi yang dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (1) bentuk birokratik/mekanistik yang mempunyai pembagian departemen fungsional, fungsi lini dan staff, hirarki otoritas, rentang kendali, bentuk datar atau piramidal/tinggi, dan berlaku aturan birokratis. (2) bentuk linking-pin yang memungkinkan semua anggota dapat berpartisipasi dalam semua tingkatan. (3) bentuk proyek yang bersifat fleksibel dan tidak permanen.

Desain organisasi nantinya berkaitan dengan sistem konfigurasi antar elemen (the operating core, the strategic apex, the middle line, the technostructure, dan the support staff). Struktur organisasi dibagi menjadi 5. Yang pertama “Struktur Sederhana” yang dipakai untuk organisasi yang memiliki kompleksitas dan formalitas rendah dan otoritas terpusat. Struktur ini biasanya dipakai untuk organisasi yang dalam masa pertumbuhan dengan lingkungan yang dinamis dan sederhana. Struktur kedua adalah “Struktur Birokrasi Mesin”. Struktur ini dipakai jika spesialisasi, formalisasi dan sentralisasinya tinggi. Desain ini diberlakukan untuk organisasi besar dengan lingkungan yang stabil dan mudah dikenal (simple), menerapkan teknologi standard. Strruktur ketiga adalah “Struktur Birokrasi Profesional” yang menggabungkan standardisasi dan desentralisasi karena tugas yang dijalankan menuntut standardisasi tinggi sekaligus kekuasaan yang luas. Struktur keempat adalah “Struktur Divisi”, dimana kekuasaan struktur dipimpin middle management yang berfungsi sebagai unit otonom yang memegang kendali.Desain ini dipakai untuk organisasi dengan strategi diversifikasi produk/pasar. Struktur yang kelima adalah “Struktur Adhocracy” yang digunakan saat diferensiasi horisontal tinggi sedangkan diferensiasi vertikal rendah, tingkat formalitas rendah, kebutuhan fleksibilitas dan responsivitas tinggi serta pengambilan keputusan yang bersifat desentralis.  

Desain struktur organisasi dapat dilakukan dengan Top-down dan Bottom-up. Jika top-down, tujuan umum dijabarkan menjadi tujuan khusus kemudian membentuk departemen, lalu disusun, dianalisis, dan ditetapkan secara formal . Jika bottom-up maka proses dasar ditetapkan dulu baru menentukan teknologi pokok yang akan dipakai.

Ada 3 teori yang mempengaruhi pola manajemen, yaitu teori manajemen tradisional, human relation, dan human resources yang akhirnya mempengaruhi struktur organisasi. Desain struktur organisasi terdiri dari rancangan tingkat differensiasi, formalisasi, dan dispersi atau pembagian otoritas. Tingkat diferensiasi menunjukkan seberapa besar jumlah unit yang dibutuhkan dan spesalisasi apa yang dibutuhkan dalam organisasi. Tingkat formalitas terkait dengan standardisasi, prosedur kerja, dan aturan serta norma-norma formal yang ditetapkan untuk dipatuhi dalam melaksanakan pekerjaan. Tingkat dispersi otoritas berkaitan dengan bagaimana mengatur pembagian kewenangan untuk memutuskan atau mengambil keputusan tentang suatu masalah.

Efektivitas organisasi merupakan menggambarkan keberhasilan dalam mencapai tujuan. Untuk mengukur efektivitas organisasi dapat melalui pendekatan “goal-attainment” yang fokus pada hasil, memiliki batas waktu pencapaian yang jelas dan terukur, pendekatan “system” yang mengukur tersedianya sumberdaya yang dibutuhkan, memelihara internal dan berinteraksi dengan luar, serta pendekatan “strategic-costituencies” yang mengukur tingkat kepuasan dari para konstituen kunci.

Isu terkait dimensi organisasi adalah mengenai merebaknya gejala parkinson, penentuan jabatan dalam organisasi, penempatan orang yang tidak sesuai kompetensi, dan dalam penentuan struktur organisasi.  

BAB 6 DIMENSI ETIKA

Etika merupakan kebiasaan, adat, akhlak, dan watak. Etika berlaku universal dan secara umum menggambarkan sikap batin. Nilai moral secara umum dapat dilihat dari nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dalam administrasi publik, etika diartikan sebagai filsafat dan kode etik yang harus dipenuhi.

Awalnya ada anggapan bahwa asalkan administrasi publik melakukan secara efisien dan ekonomis, maka ia telah bermoral. Namun paradigma bergeser. Saat ini, etika dianggap penting dalam birokrasi yang tidak hanya mengandalkan efisiensi dan ekonomis pekerjaan karena terjadi persaingan kepentingan.

Ada 4 aliran utama etika, yaitu teori empiris yang menganggap etika berasal dari pengalaman manusia, teori rasional yang mengatakan bahwa baik/buruk tergantung alasannya, teori intuisi yang berpendapat bahwa manusia secara alami mempunyai pemahaman mengenai baik/buruk, dam relevation theory dimana anggapan bahwa benar/salah berdasarkan Tuhan.

Selain itu yang sering dipertentangkan dalam administrasi negara adalah pendekatan teleologis/utilitarianisme, deontologis, dan virtue ethics. Pendekatan Teleologis dan utilitarianisme memandang baik/buruk terkait dengan maksud dan tujuan (teleologis) serta akibat (utilitarianisme) apakah memenuhi kepentingan dan meningkatkan kepuasan. Pendekatan deontologis menekankan kewajiban, tugas, tanggungjawab, dan prinsip yang harus diikuti tanpa memperhatikan akibatnya, sehingga kurang memerhatikan unsur manusianya. Kedua aliran ini dikritik oleh virtue ethics. Menurut aliran ini, baik/ buruk tidak tergantung akibat atau kewajiban, tapi dari “the excellences of character” yang ditunjukkan dari “integritas”, kebaikan, atau hati nurani pelaku.

Tahun 1940, Leys berpendapat bahwa agar menjadi etis, diperlukan administrator yang selalu menguji dan menanyakan standard yang dipakai pembuat keputusan daripada hanya tergantung dari kebiasaan yang ada (“source of doubt”). Tahun 1953, Hurst A. Anderson berkata bahwa dianggap etis jika administrator menguji dan mempertanyakan asumsi yang dipakai dalam pembuatan keputusan. Strandard ini harus merefleksikan dari nilai-nilai dasar masyarakat (kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan).Tahun 1960, Robert T. Golembiewski melihat bahwa etika harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Standard etika bisa berubah saat kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standard-standard moral yang absolut. Tahun 1970 anggapan tadi semakin disempurnakan dengan tambahan administrator harus tau bahwa ialah yang akan bertanggungjawab penuh terhadap standard-standard yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan itu sendiri. Setelah itu John Rohr berpendapat bahwa diperlukan independensi dan tidak tergantung pihak lain dalam proses pengujian. Dendhardt juga menyatakan bahwa lingkungan organisasi sangat menentukan dalam beretika. Jadi ada tiga inti dari perubahan paradigma ini, (1) proses menguji dan mempertanyakan standard etika dan asumsi, secara independen (2) isi standard etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat (3) konteks organisasi dimana individu bekerja dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.

Moral dan etika ini dalam prakteknya dapat dilihat melalui Kode etik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada profesi tertentu saja. Kode etik berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan perilaku dalam bekerja.Kode etik seharusnya tidak sekedar ada, tapi benar-benar diterapkan dan dimonitoring, dievaluasi untuk kemudian diupayakan perbaikan melalui konsensus.

Isu yang menjadi perbincangan dibidang etika adalah mengenai etika netralis dan etika struktur. Apakah seorang harus selalu patuh dalam etika yang dibuat atau memiliki otonomi sendiri untuk beretika. Kemudian isu norma yang bersifat absolut dan relatif. Kaum relativis berpendapat bahwa tidak ada “universalisme moral”. Suatu norma dikatakan baik/buruk kalau mempunyai hasil yang baik. Di Indonesia sendiri norma Pancasila masih dilaksanakan secara kaku, padahal seharusnya pelaksanaan norma bersifat dinamis. Untuk itu sudah sepatutnya administrator menerima norma absolut dan relatif sekaligus. norma absolut sebagai penuntun  namun juga relatif disesuaikan dengan kondisi.

BAB 7 DIMENSI LINGKUNGAN

Dimensi lingkungan sangat mempengaruhi perubahan dimensi internal administrasi seperti kebijakan, manajemen, organisasi, moral atau etika, dan kinerja. Lingkungan dalam hal ini adalah semua faktor yang berada di luar batas organisasi. Lingkungan umum mempengaruhi secara tidak langsung, terdiri dari kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. sedangkan lingkungan khusus mempengaruhi organisasi secara langsung seperti pelanggan, pemasok, pesaing, pemerintah, serikat kerja, asosiasi perdagangan, dan kelompok penekan.

Awalnya ada pandangan bahwa interaksi yang terbatas dari suatu organisasi terhadap lingkungannya, dan apa yang dikerjakan organisasi tidak tergantung pada dinamika lingkungan. Sistem ini disebut “sistem tertutup” (closed system). Setelah itu muncul paradigma sistem terbuka (open system). sistem ini melihat eksistensi dan perkembangan suatu organisasi dalam kaitannya degan sistem lingkungan yang ada disekitarnya. Ciri sistem terbuka adalah memiliki input, proses transformasi dan output dimana terdapat kesadaran lingkungan, feedback, karakter yang bersifat siklus, cenderung memperbaiki diri, selalu mantap, ekspansif, adaptif, dan sistem yang dapat mencapai kondisi akhir yang sama walaupun start dan jalan yang ditempuh berbeda.

Organisasi harus menyadari karakter lingkungannya. Karakter lingkungan yang penting adalah turbulence dan munificience. Turbulence terkait dengan sifat lingkungan yang mengalami perubahan yang kacau balau, atau tetap stabil. Munificient berkenaan sifat lingkungan yang mengalami tingkat kelangkaan atau kelimpahan sumberdaya yang penting. Ada juga pembagian karakter berdasarkan dimensi kemampuan, dinamika, dan kompleksitas. Dimensi kemampuan terkait sumberdaya lingkungan masih ada atau langka, dimensi dinamika terkait kestabilan organisasi, dan dimensi kompleksitas menggambarkan tingkat heterogenitas dan konsentrasi elemen-elemen lingkungan. Untuk mengenal lingkungan dapat dengan cara analisis SWOT, strategic management, strategic planning, maupun environmental scanning, forecasting, market analysis, stakeholder analysis, dsb.

Dalam menghadapi perubahan, organisasi perlu melakukan adaptasi dengan lingkungan. Caranya dengan strategi kompetisi atau strategi kooperasi. Strategi kompetisi dipakai saat sumberdaya semakin langka, strategi kooperasi dilakukan jika kompetisi sudah tidak sehat.

Isu penting dalam lingkungan adalah kekhasan kondisi Indonesia (geografis, ekonomi, sosial, budaya) yang menjadikan banyak tuntutan pelayanan publik yang sangat kompleks. Isu kedua mengenai penerapan teori dan strategi administrasi publik dari barat yang tidak semuanya cocok diterapkan di Indonesia karena perbedaan sosial budaya. Isu ketiga adalah tentang penerapan teori dan strategi pembangunan dari luar negeri yang lagi-lagi masih dipertanyakan apakah dapat diterapkan dengan kekhasan Indonesia. Isu keempat mengenai adanya penerapan capacity building untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan responsivitas dalam rangka kinerja pemerintahan dengan memusatkan pada pengembangan sumberdaya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan. Namun program ini justru menjadi investasi yang boros. Isu yang kelima mengenai prinsip-prinsip good Governance yang masih menjadi proyek dan dikhawatirkan menjadi paradigma palsu.

BAB 8 DIMENSI KINERJA

Untuk mengetahui ketercapaian tujuan dalam organisasi, dapat dilihat melalui akuntabilitas kerja yang berkaitan dengan dimensi kinerja. Akuntabilitas adalah kondisi dimana seseorang yang menggunakan kekuasaan dapat dihambat oleh instrumen eksternal dan norma-norma internal.

Menurut Schuler dan Dowling, kinerja dapat diukur dari kuantitas kerja, kualitas kerja, kerjasama, pengetahuan tentang kerja, kemandirian kerja, kehadiran dan ketepatan waktu, pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasim inisiatif dan penyampaian ide-ide yang sehat, kemampuan supervisi dan teknis. Di Indonesia sendiri parameter mengukur kinerja PNS adalah DP3 yang memuat  7 nilai umum (kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, dan kerjasama) dan 1 nilai khusus yaitu kepemimpinan.

Dalam penilaian kinerja mempunyai dua paradigma, paradigma manajemen normatif (aliran manajemen klasik, aliran manajemen human relations, aliran manajemen sumberdaya manusia) dan paradigma manajemen publik baru. Aliran klasik berpendapat pegawai adalah faktor produksi yang dapat dimanipulasi. penilaian pekerja adalah alat untuk menghakimi pegawai. Aliran manajemen human relation berpendapat pegawai sebagai makhluk sosial. penilaian kinerja sebagai alat untuk membina hubungan sosial dengan pegawai. Aliran manajemen sumberdaya manusia menganggap manusia sebagai sumberdaya yang harus ditingkatkan mastrabatnya dan mencapai tujuan organisasi. Evaluasi kerja untuk memecahkan masalah. Paradigma normatif lebih berorientasi ke dalam. Sebaliknya, paradigma manajemen publik baru berorientasi ke luar. Penilaian kinerja adalah upaya memperbaiki kinerja organisasi publik. Dasarnya tidak hanya pada proses, perlakuan kepada bawahan/masyarakat dan bagaimana akuntabilitas organisasi. Tetapi juga terkait kualitas pelayanan, keterkaitan dengan misi dan visi serta nilai-nilai yang diperjuangkan dalam organisasi, kesesuaian apa yang dikerjakan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dan sampai sejauh mana organisasi publik belajar memecahkan masalah.

Faktor yang mempengaruhi penilaian kinerja ada 4, yaitu the rating context (“faktor internal”seperti nilai organisasi, iklim dan budaya, kompetisi antar unit dan fungsi, perbedaan status, akibat downsizing, dan “faktor lingkungan” seperti kinerja organisasi, kompetisi yang dihadapi, kondisi ekonomi dan politik), the performance judgement (kemampuan kognitif penilai, bias-bias pribadi, pengalaman sebelumnya tentang penilaian kinerja, kesempatan penilai memperleh infrmasi), the performance rating (seberapa besar penilai memberikan nilai terhadap kinerja seseorang kemudian dikomunikasikan kepada pembaca/audience), dan the evaluation of the appraisal system (untuk mengontrol bias yang dilakukan dan kelemahan. Diarahkan pada berbagai kesalahan oleh raters dan ketepatan).

Faktor lainnya yaitu kejelasan tuntutan hukum/peraturan perundangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat, manajemen sumberdaya manusia, dan kesesuaian antara paradigma yang dianut manajemen dengan tujuan penilaian kinerja.

Pendekatan yang dipakai untuk penilaian kinerja adalah pendekatan perilaku (kriteria efisiensi) yang mempelajari perilaku yang relevan dengan pelaksanaan kinerja, dan pendekatan hasil (kritesia efektivitas) yang menilai hasil dan manfaat. gabungan dari kedua prinsip ini adalah Good Governance. Selain itu Noe mengidentifikasikan penilaian kinerja dengan (1) pendekatan komparatif (2) pendekatan atribut (3) pendekatan perilaku (4) pendekatan kualitas.

Prinsip penilaian kinerja ada 4 hal yang perlu diperhatikan, yaitu aspek yang dinilai (fokus penilaian yang bersifat person-oriented/work oriented dan jenis kriteria seperti kualitas, kuantitas, ketepatan waktu, efektivitas biaya, kebutuhan supervisi, dan pengaruh antar-personal), proses pengukuran (jenis skala pengukuran, jenis-jenis instrumen penilaian,pengawasan tingkat kesalahan, pencatatan hambatan, dan pengukuran skor), penentuan pihak yang menilai (pemakaian beberapa penilai untuk mengurangi bias, obyektif, dan mengurangi ketidaksesuaian hukum), dan penentuan pihak yang dinilai (baik individu, kelompok kerja, divisi atau organisasi).

Isu penting terkait dimensi kinerja ialah kemampuan penilai mengkaitkan kinerja perseorangan dengan strategi, tujuan, dan misi serta visi organisasi, kemampuan dan independensi penilai dalam memberikan penilaian, kontrol terhadap kualitas pengukuran kinerja, penerimaan terhadal alat ukur,dan kejelasan tentang apa yang diharapkan dari pegawai. Di Indonesia sendiri ada isu khusus mengenai kelemahan teoritis/paradigma yang mendasari validitas dan reliabilitas, kelemahan metodologis, dan kelemahan isu mengenai efektivitas pengukuran.

BAB 9 PENUTUP

Perbaikan dalam dimensi-dimensi strategis administrasi publik harus didasarkan pada masalah, kondisi, dan situasi riil masyarakat Indonesia. Perbaikan hanya dimungkinkan melalui penelitian bidang administrasi publik yang didukung oleh para elit maupun birokrat.


Komentar

Posting Komentar