FENOMENA GEPENG ANTARA PEMENUHAN SEKTOR EKONOMI DAN MEROSOTNYA KARAKTER PRIBADI DAN BUDAYA BANGSA INDONESIA




FENOMENA GEPENG ANTARA PEMENUHAN SEKTOR EKONOMI DAN MEROSOTNYA KARAKTER PRIBADI DAN BUDAYA
BANGSA INDONESIA
oleh
Novia Sagita Dewi
Singgih Wahyu Astuti
Lintang Ayu Saputri
(Dalam rangka lomba National Governance Day 2016 Universitas Padjajaran)

Tulisan ini terlahir dari sebuah fenomena yang pada dewasa kini menjadi trending topic dan perbincangan hangat oleh masyarakat Indonesia, baik dari kalangan masyarakat awam, pelajar, mahasiswa, para akademisi, ahli agama, pengamat ekonomi, bahkan sampai menjadi isu yang dibahas dan diperhatikan dengan saksama oleh pemerintah. Era modernisasi ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap semua aspek kehidupan manusia yang terlibat di dalamnya. Memang, kita sepakat bahwa teknologi adalah ciri utama dari hadirnya modernisasi sebagai dampak dari globalisasi, tetapi tanpa kita sadari bahwa dari banyaknya aspek dan bidang yang terpengaruh dari adanya modernisasi dan globalisasi, yang paling berdampak dan tak henti-hentinya menarik untuk dibahas adalah aspek ekonomi dan aspek budaya yang erat kaitannya dengan fenomena mentalitas bangsa Indonesia saat ini.

Ekonomi merupakan aspek yang dapat dikatakan krusial di dalam kehidupan manusia, karena kita pun merasakan bahwa aktivitas yang kita jalani tak ubahnya membutuhkan ‘sesuatu’ yang termasuk dalam aspek ekonomi, katakanlah uang. Terlebih di era modernisasi ini yang banyak dikatakan oleh banyak orang adalah ‘zamannya transparansi dan kecanggihan’ layaknya menjadi dasar beberapa pihak ‘mengesahkan’ bahwa segala sesuatu yang kita lakukan itu membutuhkan uang, sehingga tanpa kita sadari sedikit demi sedikit kita tersugesti bahwa uang adalah segalanya.

Uang adalah segalanya, sekilas memang dianggap klise dan terdengar sebagai ungkapan yang enteng dan guyon. Padahal, di balik kalimat tersebut mengandung makna sangat mendalam yang menyebabkan surutnya mentalitas bangsa Indonesia. Mereka seolah-oleh menuhankan uang sebagai wujud yang dapat memenuhi semua kebutuhan dan keinginannya, sehingga mereka dengan sukarela melakukan apa pun untuk mendapatkan pundi-pundi uang lebih banyak lagi dan lagi. 

Terlepas dari aspek ekonomi, aspek budaya pun menjadi sorotan. Namun, di sini yang akan ditegaskan adalah budaya yang berkenaan dengan gaya hidup. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia mempunyai ‘label’ sebagai manusia-manusia yang konsumtif, terlebih di era modernisasi yang fasilitas untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan tersebut semakin kompleks. Rasanya tak perlu panjang lebar membahas mengenai kekonsumtifan masyarakat Indonesia, karena yang menjadi inti yang menarik untuk dikupas adalah fenomena-fenomena ‘di belakang layar’ mengenai sifat konsumtif tersebut, demi memenuhi kebutuhan ataukah hanya memenuhi keinginan?

Kita sepakat bahwa untuk memenuhi kebutuhan di era globalisasi ini cukup sulit meskipun fasilitas dan produk yang ditawarkan sangatlah beragam. Dapat kita analogikan dengan banyaknya produk yang ada berbanding terbalik dengan kondisi keuangan. Dari analogi itulah dapat kita temukan fenomena gepeng (gelandangan dan pengemis), yang kini bertransformasi menjadi sebuah profesi. Fenomena gepeng dari dulu hingga sekarang persamaannya masih sama, yakni dikarenakan masalah ekonomi. Namun, perbedaannya sangatlah drastis, yaitu fenomena gepeng tempo dulu biasanya disebabkan karena kondisi perekonomian yang memburuk sehingga siapa pun tidak ingin sama sekali menjadi gepeng, tetapi kini malah sebaliknya, gepeng layaknya sebuah batu loncatan untuk mendongkrak kondisi perekonomian sehingga beberapa diantaranya menjadikannya sebuah profesi. Akibat fenomena tersebut, maka lahirlah Perda Nomor 16 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas. Kebijakan tersebut tentu saja tak lepas dari pro dan kontra, sehingga sampai detik ini pun permasalahan terkait masih menjadi perdebatan di berbagai lapisan.   

 Dari pihak yang kontra menyatakan bahwa Perda tersebut sangatlah cacat hukum karena tidak mencantumkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 dalam konsideransnya. Selain itu, Perda tersebut juga dianggap diskriminatif karena tidak menyejahterakan kaum rakyat miskin kota. Padahal telah jelas termaktub dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, bahwa negara berkewajiban untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh warga negara (khususnya fakir miskin dan anak terlantar). Akan tetapi, Perda ini dirasa sangat bertentangan dengan landasan konstitusional, dan malah menganggap orang miskin sebagai ‘penyakit’.  

Dari pihak yang pro akan diberlakukannya Perda ini menyatakan bahwa tidak ada maksud menganggap orang miskin sebagai suatu ‘penyakit’, tetapi yang perlu diperhatikan adalah mentalitas itu sendiri. Suatu bangsa dan negara memang menginginkan kesejahteraan, tetapi bagaimana mungkin kesejahteraan itu sendiri didapat dari hasil di luar ekspektasi? Apakah nominal uang mejadi strata tertinggi dibandingkan dengan haga diri? Jika memang uang adalah tolok ukur kesejahteraan, maka sejatinya upaya self-upgrading itu yang terpenting agar kualitas diri dapat menjangkau berapa pun nominal uang, bukan uang yang menghampiri karena mengasihi. Inilah kondisi budaya bangsa Indonesia saat ini, di mana prinsip ‘lebih baik memberi daripada tangan menerima’ hanya untaian kata, dan kalimat ‘tangan di atas lebih baik dibandingkan dengan tangan di bawah’ tiada terasa maknanya. Sangat disayangkan apabila nantinya bangsa Indonesia menggantungkan nasib dengan meminta belas kasihan dan berharap uluran tangan dari orang lain, apakah tiada upaya yang lebih baik untuk menyongsong kesejahteraan? Ke manakah budaya bangsa Indonesia yang penuh dengan perjuangan untuk meraih sesuatu yang sangat mulia?

Yang terpenting yang dapat dipelajari dari fenomena ini terlepas dari argumentasi pihak pro dan kontra adalah bagaimana pola pemikiran kita dalam menyikapi situasi dalam memenuhi kebutuhan yang kian hari semakin sulit. Pola pemikiran yang ajeg tentunya akan menghasilkan keputusan yang tepat sehingga ketika direalisasikan kemungkinan besar akan mengarah kepada sesuatu yang positif. Dan pada umumnya, pola pemikiran yang ajeg dihasilkan dari pendidikan yang matang, sehingga dapat menjadi masukan pula bagi pemerintah untuk memperluas akses dan kesempatan pendidikan, khususnya bagi masyarakat miskin agar fenomena gepeng ini tidak semakin merajalela jika menurut pemerintah kehadiran gepeng harus ‘dibasmi’. Pola pemikiran yang ajeg dan konsisten juga dapat menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang beradab dan maju, sehingga dapat dengan mudah kita ciptakan sebuah ‘hunian’ yang nyaman, sebuah ‘Rumah yang Berbudaya’.


 


Komentar