POLITIK DAN KARAKTER MANUSIA (ANTARA KENYATAAN DAN HARAPAN)




POLITIK DAN KARAKTER MANUSIA
(ANTARA KENYATAAN DAN HARAPAN)

A.               Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari pasti akan ditemui berbagai masalah. Untuk itu, manusia membutuhkan kerjasama dalam menyelesaikan masalah bersama/kepentingan umum. Dua filsuf Yunani, Plato dan Aristoteles telah merumuskan kehidupan politik sebagai keprihatinan atas isu-isu umum yang mempengaruhi komunitas. Pada saat itu orang yang melarikan diri ke dalam kehidupan pribadi dianggap sebagai “idiot”. Pada masa itu, mereka memandang kepentingan umum sebagai hal yang lebih tinggi secara moral.

Aristoteles, dalam bukunya The Ethics menyatakan, “Manusia pada hakekatnya adalah makhluk politik, sudah menjadi bawaannya hidup dalam suatu polis”. Hanya dalam polis ia dapat mencapai nilai moral yang paling tinggi. Di luar polis, manusia menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (Tuhan). Ia juga mengatakan “Kebaikan paling tinggi adalah sasaran yang dicari oleh ilmu politik”. Di pendekatan klasik, politik dianggap sebagai cara untuk mencapai masyarakat yang baik. Namun pengkajian dalam pendekatan ini menekankan apa yang seharusnya terjadi (what should be) bukan apa yang senyatanya (what is).

Pada kenyataanya saat ini yang terjadi justru sebaliknya. Seperti yang dikatakan Peter Merkl, “politik dapat menjelma menjadi suatu perebutan kekuasan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.” Terdapat banyak sinisme negatif yang menganggap politik sebagai sesuatu yang tidak bermoral. Ambroce Brierce mengatakan politik sebagai suatu perjuangan demi kepentingan diri yang dibenarkan oleh prinsip-prinsip moral. Politik melibatkan suatu pertemuan antara kepentingan-kepentingan dan asas-asas yang berkonflik. Kelompok-kelompok terorganisir tawar menawar dan berkompromi untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka. Bahkan, dengan digerakkan oleh keinginan pragmatik untuk sukses, para politisi bisa melanggar asas-asas moral dalam pengejaran kepentingan-kepentingan ekonomik mereka. Pada saat ini, seakan-akan politik tidak lagi menempatkan diri untuk kepentingan umum. Politik hanya sebagai alat untuk memuaskan kepentingan pribadi. Ia telah kehilangan wibawanya.

Sebenarnya, tidak sedikit generasi muda yang di dalam jiwanya terdapat keinginan untuk memperbaiki kehidupan bangsa. Salah satu caranya adalah dengan masuk ke dalam dunia politik. Karena dengan berpolitik lah kita mempunyai kekuasaan untuk memperbaiki kehidupan bersama. Namun, anggapan yang berkembang di masyarakat adalah, “jangan masuk politik”, “politik itu kejam”,  “politik itu merusak karakter”, “politik itu tidak bermoral”, dan nada-nada sumbang lainnya. Sehingga generasi muda yang mempunyai semangat tadi menjadi ragu-ragu dengan langkahnya.

Suatu ungkapan tidak akan terucap tanpa ada alasan yang menjadikan adanya pemikiran tersebut. Umpamanya tidak akan ada asap jika tidak ada apinya. Ungkapan “politik itu merusak karakter” nampaknya tidak begitu salah juga karena banyak orang yang kepribadiannya berubah menjadi negatif setelah ia terjun ke dalam ranah politik. Seseorang yang dulunya aktif membela rakyat banyak, ikut demo memperjuangkan hak rakyat, namun setelah ia telah mendapatkan kursi kekuasaan ia seakan-akan lupa apa yang telah diperjuangkannya dahulu sebelum ia duduk nyaman di singgasana kekuasaan.

Tidak sedikit pula orang-orang yang karena keinginannya di bidang politik ini justru membuat mereka menjadi manusia yang tampak bermoral. Mereka melakukan hal-hal baik namun dengan tujuan-tujuan yang terselubung seperti agar mendapatkan nama baik di masyarakat, agar mereka mendapatkan simpati dari pemilihnya. Mereka sadar bahwa di panggung politik mereka bisa terjatuh kapan saja. Banyak orang-orang seperti ini yang akan dengan rela hati melepaskan sifat-sifat baiknya ini jika tidak sedang diperhatikan masyarakat demi karirnya.

Namun sepertinya, pepatah yang menyebutkan bahwa politik merusak karakter ini telah menenggelamkan masyarakat ke dalam sikap individualisme, pepatah ini menjadikan bahwa menolak untuk ikut mengatur masyarakat justru adalah sesuatu yang bermoral. Sedangkan ikut berpolitik yang notabenenya memikirkan kepentingan bersama hanya omong kosong belaka karena pada dasarnya mereka hanya ingin memuaskan kepentingannya sendiri saja.

B.               Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah :
a.                Benarkah politik dapat merusak karakter manusia?
b.               Bagaimana yang seharusnya dilakukan dalam berpolitik?

C.              Pembahasan

C.1 Politik dan Karakter Manusia

Theodor Heuss dan Carlo Schmid menanggapi pepatah bahwa politik merusak karakter dengan berkata “Bukan politik yang merusak karakter, tetapi karakter-karakter yang jelek merusak politik.” Politik memang merubah kepribadian. Marie von Ebner-Eschenbach berkata “Kita ditempa oleh nasib, menjadi lembek atau menjadi keras. Semuanya tergantung pada bahannya”. Tidak ada orang yang berjalan dalam matahari kepopuleran, di bawah pohon-pohon palem pujian-pujian, di atas permadani kekuasaan, tanpa mengalami suatu “hukuman”.

Menurut Eberhard Puntsch, dalam bukunya, “Politik dan Martabat Manusia” menjelaskan ada tiga tekanan yang membahayakan kepribadian para politisi, yaitu:

1.         Ia selalu dibebani secara intelektual. Dari dirinya dituntut suatu tingkat pengetahuan yang tidak dimilikinya, karena melebihi daya tampung biasa suatu kepala. Ia terjebak pada ketidakmampuan dalam berbagai bidang, dan sekaligus ia harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu.

Para politisi dituntut menguasai banyak pengetahuan walaupun tidak secara mendetail agar ia dapat mengambil keputusan. Mereka harus memperhitungkan dampak-dampak dari keputusan itu karena mereka lah yang akan bertanggung jawab. Mereka harus siap ditanya mengenai semua topik. Mereka harus siap diwawancarai oleh media masa, tanpa persiapan, namun ucapannya selalu mengikat mereka. Mereka juga harus mampu mengatasi pertanyaan lawan politik mereka yang penuh jebakan.

Memang, mereka bisa saja mengatakan bahwa dirinya tidak mampu menjawab suatu pertanyaan. Namun ini hanya berlaku sekali-dua kali saja. Karena dapat menimbulkan pertanyaan mengenai kecerdasannya. Masyarakat tidak akan memaafkan ketidakmampuannya itu. Masyarakat memilihnya karena menganggap ia kompeten. Partai juga pasti akan rugi karena partai itu dinilai berdasarkan sikap wakil-wakilnya.  Jadi, seorang politisi harus berpura-pura menunjukkan suatu pengetahuan yang tidak dimilikinya, memberikan jawaban yang tidak diketahuinya, mengajukan pendapat, dimana ia hanya tahu bahwa lawan politiknya tidak dapat menyanggah hal itu.

Politisi sering harus bersikap tidak jujur untuk menyembunyikan ketidakmampuannya, dan tindakan pemaksaan ini akan berpengaruh pada kepribadiannya. Ketidakjujuran yang awalnya hanya menjadi kewajiban saja, namun kemudian menjadi kebiasaan, bahkan menyenangkan diri politisi itu.

2.         Paksaan untuk bersikap solider pada partainya dan wakil-wakil partai itu yang lain, walaupun tingkah laku para rekan satu partai ini melukai cara pandang etisnya sendiri, dan walaupun keputusan-keputusan itu bertentangan dengan pendapatnya sendiri

Setiap politisi maju karena bantuan partai. Partai telah memberikan mereka lingkungan yang menguntungkan. Partai berhak menuntut agar ia mementingkan kepentingan partai. Perbedaan pendapat dalam suatu partai dapat digunakan oleh lawan politik untuk menunjukkan pada pemilih bahwa partai tersebut penuh pertentangan dan tidak menunjukkan satu arah.

Para politisi harus menutup-nutupi kesalahan-kesalahan rekan-rekannya separtai. Ia harus membela pendapat-pendapat yang menurut mereka salah. Ia harus menutupi kekeliruan-kekeliruan. Ia tidak boleh bersikap jujur. Pembohongan masyarakat umum menjadi suatu prestasi.

3.         Paksaan untuk mempu menahan kritik umum yang tidak adil. Upaya-upaya sang politisi yang bermaksud baik tidak diakui; tujuan-tujuan yang jujur disalahartikan; keberhasilan-keberhasilan diperkecil, kesalahan-kesalahan diperbesar, kekeliruan-kekeliruan dilestarikan.

Para warganegara menilai secara salah. Mereka tidak memperdulikan kondisi-kondisi yang memungkinkan munculnya prestasi politis itu. Ia membandingkan keberhasilan yang ada dengan keberhasilan yang mungkin dapat dicapai, sehingga ia selalu melihat kekurangan. Ia tidak dapat mengetahui, betapa banyak upaya, kesabaran, dan kecerdasan telah digunakan untuk menghasilkan hasil yang miskin ini, yang membuat mereka merasa kecewa. Begitu pula partai politik. Masing-masing partai politik saling bersaing dan berupaya meningkatkan posisi mereka sendiri.

Bagi media massa, berita negatif lebih bernilai daripada berita positif. Media massa berpendapat bahwa tugas mereka adalah “Mengatakan segala sesuatu agar kemungkinan untuk melakukan segala sesuatu diambil dari orang-orang tertentu.”

Perbedaan antara niat baik dan pencemaran nama baikpun terbuka. Hal ini akan berpengaruh pada kepribadian politisi. Kemampuannya menerima kritik akan semakin menurun. Ia bersikan semakin menolak pada kritik yang sebetulnya sangat ia butuhkan. Ia mulai membiasakan diri mengabaikan celaan dan merayakan pujian, untuk mengasingkan para mentor dan untuk memangkitkan para penjilat. Karakternya sendirilah yang menentukan berapa jauh ia akan ditarik ke arah untuk hanya memperhatikan diri sendiri.

C.2 Idealisme dalam Dunia Politik

Ada seorang filsuf yang mengatakan bahwa yang sempurna adalah ide, diluar itu tidaklah sempurna, termasuk juga tindakan manusia. Namun manusia selalu membutuhkan kegiatan berpikir untuk melakukan tindakan walaupun nantinya tidak sesempurna yang telah direncanakan.

Melihat keadaan politik yang dapat mengubah karakter manusia seperti yang telah dijelaskan, tampaknya kita pun perlu berpikir ulang mengenai apa yang salah dalam sistem politik ini dan bagaimana seharunya kegiatan politik itu.  Agar kedepan politik dapat diperbaiki menjadi suatu sistem yang lebih baik.

Dilihat dari penjelasan Eberhard Puntsch, seseorang bisa berubah kepribadiannya karena tuntutan dari masyarakat untuk menjadi sempurna. Padahal ia hanyalah seorang manusia biasa. Oleh karena itu, para politisi menyembunyikan ketidakmampuan mereka dengan melakukan berbagai macam cara yang akhirnya justru merubah karakter mereka. Menjadikan mereka lupa akan tujuan utama mereka karena biasanya seseorang yang telah duduk di suatu tempat nyaman cenderung ingin terus mempertahankan status quo nya. Sekarang yang ada dalam pikiran mereka bukan lagi “apa kepentingan umum yang harus dipenuhi?”, namun “bagaimana agar aku tetap memegang kekuasaan ini?”.

Pertama-tama, semua manusia, baik pemerintah maupun warga negara seharusnya sama-sama menyadari bahwa negara dibentuk untuk menjalankan kepentingan umum, negara ada untuk kebaikan bersama umat manusia, agar tidak ada lagi pertentangan yang timbul karena perbedaan kepentingan antar individu. Bagi pemerintah, ia seharusnya menjalankan amanat rakyat untuk memimpin mereka. Dan rakyat seharusnya mematuhi kebijakan yang telah ditentukan pemerintah jika hal itu menyangkut kepentingan bersama.

Orang-orang yang menduduki kekuasaan telah mendapatkan amanat untuk memimpin karena mendapat kepercayaan dari rakyat. Namun penguasa tetaplah manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan. Mereka dapat menggunakan kepercayaan masyarakat ini untuk mencapai kepentingan pribadi mereka. Dalam hal ini, walaupun sudah ada pihak yang berwenang mengawasi jalannya pemerintahan, namun pihak yang ditunjuk untuk menguasai ini pun hanyalah manusia yang kadang tidak kuasa dihadapan harta. Oleh karena itu, seharusnya rakyat tidak tinggal diam dengan percaya begitu saja pada pemerintahan. Rakyat sendiri yang harus mengawasi jalannya pemerintahan agar mereka tahu apakah kepentingan mereka benar-benar diutamakan atau tidak.

Adanya pengadilan rakyat ini harus didahului dengan keterbukaan dari para politisi. Dengan adanya keterbukaan, rakyat akan dapat dengan mudah mengawasi jalannya pemeritahan, bahkan rakyat dapat mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang terbaik untuk kepentingan bersama. Para politisi sudah tidak perlu lagi menyembunyikan ketidakmampuan mereka menangani suatu masalah karena rakyat sendiri dapat membantu mereka memecahkan masalah dengan mengemukakan pendapat mereka. Karena dengan berpura-pura sedang dalam keadaan baik-baik saja justru akan merubah karakter mereka sendiri.Dalam upaya ini, sangat dibutuhkan partisipasi dari masyarakat. Harus dipupuk kesadaran bahwa politik merupakan kewajiban bersama, masa depan kita adalah tanggung jawab kita semua.

Para politisi seharusnya independen dan tidak lagi terikat pada partai untuk memperjuangkan hak rakyat. Dibutuhkan kesadaran mengenai tanggung jawab dalam mengemban amanah rakyat. Politisi harus benar-benar objektif dalam membuat keputusan. Selain politisi yang harus bersikap objektif, masyarakat dan media massa pun dituntut hal serupa. Seharusnya mereka tidak hanya melihat para politisi sebelah mata, namun menilainya secara objektif pula agar tidak beredar berita-berita yang tidak benar yang justru dapat memecah belah manusia.

D.              KESIMPULAN DAN SARAN

Politik memang kejam, politik memang merusak karakter, oleh karena itu jangan kita biarkan politik terus menerus kejam terhadap kepentingan rakyat, jangan biarkan politik merubah kepribadian orang-orang berhati tulus. Dibutuhkan kerjasama antar semua golongan untuk mengembalikan esensi politik untuk mengurusi kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Kehidupan kita adalah tanggung jawab kita semua. Maka, jangan pernah ragu untuk berpolitik. Jika kita ingin menjadi pemimpin untuk membela kepentingan bersama, jangan pernah takut dan jangan biarkan orang-orang yang hanya memikirkan nafsunya dapat mengotori panggung politik. Namun, sebelum kita menaiki tangga politik, kuatkanlah tekad karena seperti yang dikatakan Ebner-Eschenbach berkata “Kita ditempa oleh nasib, menjadi lembek atau menjadi keras. Semuanya tergantung pada bahannya”. Adalah pilihan kita untuk menjadi pemain atau penonton saja. Politik membutuhkan semua manusia!. Politik adalah tanggung jawab kita bersama!
DAFTAR REFERENSI

Andrain, Charles F. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Puntsch, Eberhard.1996. Politik dan Martabat Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soebiantoro, M., dkk. 2010. Pengantar Ilmu Politik. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.


Lintang Ayu Saputri (F1B015026)







Komentar